Sentimen yang tumbuh di Sulawesi dan Sumatera Tengah, yang merasa bahwa kebijakan dari pemerintah pusat di Jakarta telah menghambat pertumbuhan ekonomi lokal, menjadi salah satu penyebab utama.
Ketidakpuasan ini diperparah oleh persepsi bahwa pemerintah pusat memberikan perlakuan istimewa kepada Pulau Jawa, sementara pulau lain yang menyumbang lebih banyak kepada ekonomi nasional, merasa diabaikan.
Kondisi ini mengakibatkan pembatasan dan gangguan dalam pengembangan daerah-daerah tersebut.
Perselisihan ini akhirnya menumbuhkan keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Awal Mula Gerakan
Di tahun yang sama, Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Pettarani, melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo dan Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo.
Gubernur Pettarani mendesak agar pemerintah pusat memberikan otonomi yang lebih luas, terutama untuk wilayah Indonesia Timur, serta meminta bagi hasil pendapatan pemerintah yang lebih adil untuk mendanai proyek-proyek pembangunan lokal. Namun, permintaan ini tidak mendapat respons dari pemerintah.
Pada akhir Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu, sebagai wakil dari Sulawesi, dikirim ke Jakarta untuk mendesak pemerintah pusat.
Setelah upaya mereka tidak membuahkan hasil, pada 2 Maret 1957, Letkol Ventje Sumual, Panglima TT-VII, mengumumkan keadaan perang di seluruh wilayah Indonesia Timur.
Sebelumnya, Sumual juga telah berusaha mendesak pemerintah pusat di Jakarta untuk hal yang sama.
Piagam Perjuangan Semesta, atau Piagam Permesta, kemudian dibacakan.
KOMENTAR