Advertorial
Intisari-Online.com – Ketika Brigjen Entjoeng A.S., Kepala Pusat Penerangan Hankam, meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 1983, Bapak Ben Wowor terkenang pada masa penumpasan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara/Tengah, ketika ia banyak bekerja sama dengan Kapten Entjoeng.
Tahun 1958, waktu operasi militer sedang dilancarkan sehebat-hebatnya terhadap Permesta, Kapten Entjoeng datang ke Manado sebagai Kapendam Komando Operasi Merdeka.
Waktu itu saya menjadi Koordinator Team Kementerian Penerangan yang diperbantukan pada Penguasa Perang Dacrah di Manado.
Seluruh inventaris dari Percetakan Kementerian Penerangan dan Studio RRI Manado telah musnah atau dibawa serta oleh kekuasaan Permesta yang mundur ke pedalaman Sulawesi Utara.
(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)
Kapten Entjoeng sebagai langkah pertama mengajak saya keliling kota Manado dan menunjuk bangunan-bangunan mana yang dianggap layak sebagai kantor Jawatan Penerangan.
Studio RRI yang mula-mula beroperasi di pondok kecil di tepi pantai Pelabuhan Manado dipindahkan ke tempat yang lebih layak dalam kota. Para pegawai penerangan yang lolos dari pedalaman diterima berangsur-angsur melalui team screening.
Mobil unit, satu-satunya alat penerangan penting yang tadinya tak sempat dilarikan oleh Permesta karena ketiadaan bahan bakar, diperlengkapi kembali dengan alat-alat pengeras suara dan proyektor film.
Dalam menyusun rencana kerja, briefing diberikan khusus tentang pelaksanaan perang urat saraf terbuka (open psywar) setelah beliau mendapat petunjuk-petunjuk dari Kepala Staf Komando Operasi Overste Soenandar dan data-data dari Asisten I.
Pamflet-pamflet yang telah disebarkan oleh Permesta diteliti dan dipelajari seperlunya dalam konsultasi dengan FKIP (IKIP) untuk dijadikan bahan dan tema penerangan bagi Japen, RRI dan pers.
Selebaran-selebaran dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Mongondow) dicetak pada malam hari dan langsung disampaikan kepada AURI sebelum pukul 6 pagi untuk disebarkan dari udara kepada penduduk di tempat-tempat yang belum dibebaskan.
Operasi fisik di satu pihak yang berbentuk menumpas dan memusnahkan, dibarengi dengan operasi mental di lain pihak yang bersifat membebaskan rakyat dan memanggil kesatuan-kesatuan Permesta yang tersesat, tidak mudah untuk dipadukan dan dilaksanakan oleh media penerangan. Apalagi sasaran pun berbeda-beda.
Dalam bulan November 1958 unit penerangan dalam mengikuti rombongan panglima secara maraton melakukan penerangan kepada rakyat dan pemutaran film di Kakaskasen, Langoan, Amurang, sedangkan tugas-tugas Jawatan Administratif dilakukan secara singkat di Tomohon, Kawangkoan, Rumoong-Lansot dan Tanahwangko.
(Baca juga: Yang Konyol-Konyol di Perang Dunia II: Nazi Gelar Pesawat Palsu dari Kayu dan Sekutu Mengebomnya Dengan Bom Kayu)
Penerangan umum kepada rakyat di sekitar kota Langoan yang dikumpulkan dengan susah payah, dapat dilakukan pada sore hari di lapangan terbuka, disusul dengan pemutaran film dalam penjagaan CPM dan pos-pos tentara.
Tetapi sesudahnya, pada malam hari, dibalas oleh Permesta dengan tembakan dan sebuah mortir jatuh di dekat penginapan Kepala Pendam dan saya.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari, Kapten Entjoeng sering merasa perlu untuk mengunjungi warga penerangan di rumahnya masing-masing, sekedar untuk menghibur atau membantu keluarganya sedapat mungkin, sekalipun tempat tinggalnya berada di daerah yang kurang aman.
Pernah seorang juru penerang akan ditembak oleh seorang anggota pasukan. Kapten Entjoeng yang mengetahui hal itu datang ke rumah juru penerang tersebut, seolah-olah hendak bertamu.
Beliau mendampingi keluarga itu terus sampai saat-saat ancaman bahaya itu berlalu.
Sebenarnya Kapten Entjoeng sebelumnya dikenal sebagai Ajudan Kolonel Joop Warouw, yaitu waktu ia bertugas pada TT (Teritorium) VII Wirabuana di Makasar.
Namun di Sulawesi Utara dan Tengah ia terpaksa menghadapi bekas atasannya sebagai lawan.
Memang pada hakekatnya pasukan Permesta maupun pasukan pemerintah pusat sebelum pemberontakan PRRI — Permesta merupakan dan berasal dari satu wadah TNI.
Kini kedua belah pihak harus berhadapan sebagai musuh dengan menggunakan siasat-siasat dan teknik perang yang sama.
Perwira-perwira di pihak pemerintah antara lain Kolonel A. Yani, para Letnan Kolonel Roekminto, Kartijo, Soenandar, Bintoro, Semeru. Dari Angkatan Laut, Mayor KKO Ali Sadikin dan Mayor John Lie.
Kalau kita lihat, banyak sekali tokoh-tokoh perwira yang ikut dalam operasi-operasi tersebut dan kemudian menduduki jabatan-jabatan yang tinggi sampai pada Staf Pimpinan Hankam.
Di pihak PRRI — Permesta terdapat tokoh-tokoh perwira seperti Kawilarang, Warouw, Sumual, Simbolon, Somba, Pantow dan Iain-lain lagi, yang selain telah berjuang bersama-sama di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, juga telah menempuh pendidikan yang sama di SESKOAD dan sebagainya.
Kiranya semua pertikaian, pertempuran, apalagi yang bersifat perang saudara, selalu menimbulkan kesengsaraan bagi kedua belah pihak, terutama bagi rakyat di daerah tempur itu.
Tidak. heran kalau dalam perdamaian yang terjadi pada tanggal 1 April 1961 di Woloan (dekat Tomohon) kami melihat mereka saling berpeluk-pelukan sebagai tanda terharu.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1984)
(Baca juga: 60 Tahun Permesta: Ibarat ‘David Vs Goliath’, AURI Berhasil Tumpas Permesta Berkat Taktik Jitu)