Intisari-Online.com -Dalam sejarah Indonesia, ada momen-momen yang menentukan arah bangsa, dan salah satunya adalah munculnya Gerakan Permesta.
Masa Demokrasi Liberal di Indonesia ditandai dengan berbagai dinamika politik yang kompleks dan seringkali kontradiktif.
Artikel ini menjelaskan latar belakang munculnya Gerakan Permesta pada masa Demokrasi Liberal, sebuah periode yang penuh gejolak.
Kita akan menyelami kedalaman sejarah untuk memahami apa yang mendorong para pemimpin dan rakyat Sulawesi untuk mengambil langkah radikal.
Dengan mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan politik, kita dapat memperoleh wawasan tentang motivasi dan aspirasi mereka.
Penjelasan ini tidak hanya penting untuk memahami masa lalu, tetapi juga untuk mengambil pelajaran bagi masa depan.
Mari kita buka lembaran sejarah dan memulai perjalanan menelusuri jejak-jejak yang membawa kepada pembentukan Permesta.
Latar Belakang
Deklarasi Permesta, yang juga dikenal sebagai Perjuangan Rakyat Semesta, merupakan sebuah gerakan militer yang diumumkan oleh para pemimpin militer di wilayah Indonesia Timur.
Beberapa faktor memicu munculnya pemberontakan Permesta di wilayah Indonesia Timur.
Sentimen yang tumbuh di Sulawesi dan Sumatera Tengah, yang merasa bahwa kebijakan dari pemerintah pusat di Jakarta telah menghambat pertumbuhan ekonomi lokal, menjadi salah satu penyebab utama.
Ketidakpuasan ini diperparah oleh persepsi bahwa pemerintah pusat memberikan perlakuan istimewa kepada Pulau Jawa, sementara pulau lain yang menyumbang lebih banyak kepada ekonomi nasional, merasa diabaikan.
Kondisi ini mengakibatkan pembatasan dan gangguan dalam pengembangan daerah-daerah tersebut.
Perselisihan ini akhirnya menumbuhkan keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Awal Mula Gerakan
Di tahun yang sama, Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Pettarani, melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo dan Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo.
Gubernur Pettarani mendesak agar pemerintah pusat memberikan otonomi yang lebih luas, terutama untuk wilayah Indonesia Timur, serta meminta bagi hasil pendapatan pemerintah yang lebih adil untuk mendanai proyek-proyek pembangunan lokal. Namun, permintaan ini tidak mendapat respons dari pemerintah.
Pada akhir Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu, sebagai wakil dari Sulawesi, dikirim ke Jakarta untuk mendesak pemerintah pusat.
Setelah upaya mereka tidak membuahkan hasil, pada 2 Maret 1957, Letkol Ventje Sumual, Panglima TT-VII, mengumumkan keadaan perang di seluruh wilayah Indonesia Timur.
Sebelumnya, Sumual juga telah berusaha mendesak pemerintah pusat di Jakarta untuk hal yang sama.
Piagam Perjuangan Semesta, atau Piagam Permesta, kemudian dibacakan.
Isi Piagam Permesta
Piagam Permesta menyatakan:
"Pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional."
Upaya Penumpasan
Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah diplomatis dan militer untuk merespons pemberontakan Permesta.
Upaya perdamaian melalui dialog menjadi prioritas awal, namun ketika itu tidak membuahkan hasil, tindakan lebih tegas diambil.
Pada tanggal 17 Desember 1960, sebuah kesepakatan tercapai dimana Permesta setuju untuk menghentikan pemberontakan setelah pemerintah pusat setuju untuk memecah Provinsi Sulawesi menjadi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dengan Manado sebagai ibu kota Sulawesi Utara.
Selain itu, pemerintah pusat juga melaksanakan serangkaian operasi militer, termasuk Operasi Merdeka, Operasi Tegas, dan Operasi Sadar, untuk menumpas pemberontakan.
Pemberontakan Permesta dianggap lebih kompleks untuk ditangani dibandingkan dengan pemberontakan lain di Indonesia, sebagian karena adanya dukungan dari pihak asing, khususnya Amerika Serikat.
Pada bulan Oktober 1961, wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Permesta berhasil direbut kembali oleh Tentara Nasional Indonesia melalui serangkaian operasi militer tersebut.
Akhirnya, pemberontakan Permesta berakhir secara resmi dengan diberikannya amnesti dan abolisi kepada para pelaku melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 tahun 1961.
Dengan memahami konteks dan keadaan yang ada, kita dapat lebih mengapresiasi kompleksitas sejarah Indonesia.
Artikel ini telah menjelaskan latar belakang munculnya Gerakan Permesta pada masa Demokrasi Liberal, memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang peristiwa penting tersebut.
Baca Juga: Angkat Dirinya Sebagai Presiden Seumur Hidup, Bung Karno Beberapa Kali Jadi Sasaran Pembunuhan