Oleh karena itu, wilayah Menteng disulap menjadi kompleks perumahan bagi orang-orang yang berkantor di wilayah Batavia.
Para developer mengembangkan perumahan dengan tipe villa bagi orang-orang keturunan Belanda pada masa itu.
Pembangunannya dilakukan pada rentang tahun 1910-1918 oleh tim yang dikepalai seorang arsitek Belanda, P.A.J. Mooijen.
“Kenapa dinamakan tipe villa? Karena rumahnya berdiri sendiri dengan halaman di keempat sisinya. Rumahnya terletak di tengah halaman,” ujar Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur yang juga menjadi narasumber dalam acara kali ini.
Daerah perumahan Menteng waktu itu dijuluki sebagai "kota taman pertama" di Hindia Belanda.
Terbukti dari banyaknya kawasan lahan terbuka hijau yang dibangun seperti Taman Suropati, Taman Lawang, dan Taman Cut Meutia yang berlokasi tidak jauh dari titik kumpul para peserta PTD.
Salah satu pakar tata lingkungan Thomas Karsten, yang sempat singgah di Batavia, menyebutkan bahwa Menteng memenuhi segala kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.
Selain perumahan mewah bagi orang-orang Belanda, developer juga mendirikan permukiman untuk pribumi dengan ukuran rumah yang tentunya lebih kecil di sekitar Jalan Terbang — sekarang menjadi Stasiun Dukuh Atas.
Berbeda dari tipe rumah yang berlokasi di kompleks elit Menteng, pada permukiman pribumi dapat dijumpai rumah kopel yang dibangun pada satu lahan dan hanya dipisahkan dinding sebagai pembeda satu rumah dengan rumah lainnya.
Tujuannya sebagai perkampungan untuk warga lokal yang menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) rumah-rumah di daerah Menteng.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Rencana Ibukota Baru Di Weltevreden
Penulis | : | Akbar Gibrani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR