Menelusuri Jejak Rencana Ibukota Baru Di Weltevreden

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Peserta Plesiran Tempo Doeloe dari Sahabat Museum tengah berpose di SMA Negeri 1 Budi Utomo Jakarta Pusat. Sekolah peninggalan Belanda ini sudah berdiri sejak 1901.
Peserta Plesiran Tempo Doeloe dari Sahabat Museum tengah berpose di SMA Negeri 1 Budi Utomo Jakarta Pusat. Sekolah peninggalan Belanda ini sudah berdiri sejak 1901.

Intisari-Online.com -Sama seperti kita hari ini, orang-orang Belanda di Batavia pada zaman kolonial juga butuh suasana yang segar dan sejuk agar bisa lepas dari kepenatan sehari-hari. Mereka butuh tempat untuk tetirah di akhir pekan.

Di situlah orang-orang Belanda mereka mulai membuka lahan-lahan di luar kota yang masih hijau dan asri. Salah satunya di kawasan yang membentang dari daerah yang sekarang menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) hingga ke Jalan Medan Merdeka Selatan, di Jakarta Pusat.

Tahun demi tahun, kawasan ini kemudian terus berkembang bahkan menjadi pusat pemerintahan atas perintah Gubernur Jenderal H.W. Daendels, pada awal abad ke-19.

Bagaimana perjalanan berkembangnya kawasan ini dari tahun ke tahun?

Agar paham akan situasi dan kondisi saat itu, Sahabat Museum dan Majalah Intisari mengadakan acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) pada Minggu (17/12).

PTD yang mengeksplorasi sekitar wilayah Lapangan Banteng ini atau hanya sebagian kecil saja dari Weltevreden, diikuti sekitar 50 peserta.

Seperti biasa, acara PTD diawali dengan memberi latar belakang sejarah tentang kawasan yang sesungguhnya sudah dibuka pada pertengahan abad ke-17 saat pemerintah VOC memberikan sebidang tanah kepada Anthonij Paviljoun.

Paviljoun akhirnya membangun beberapa rumah peristirahatan di lahan yang sangat luas itu. Ia juga membangun pertanian dan peternakan.

Setelah Paviljoun, lahan ini dibeli oleh Cornelis Chastelein, salah satu anggota Dewan yang kemudian membuat usaha perkebunan, antara lain tebu dan kopi. Bahkan di tepi Sungai Ciliwung pernah didirikan pabrik gula.

Sejak era Chastelein inilah area luas ini mulai dikenal sebagai Weltevreden, artinya “sangat memuaskan”.

Dari tahun ke tahun, Weltevreden terus berkembang sesuai dengan rencana pemilik-pemiliknya.

Misalnya pada awal abad ke-18 saat ada sebagian lahan yang dimiliki oleh Yustinus Vinck, ia membangun dua pasar yaitu Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.

“Vinck juga membangun jalan yang menghubungkan dua kawasan itu yang sekarang menjadi Jalan antara kawasan Prapatan Tugu Tani dan Kebon Sirih,” terang Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur yang menjadi salah satu narasumber di PTD kali ini.

Pada masa kepemilikan Gubernur Jenderal Jacob Mossel, dibangun sebuah rumah mewah yang berlokasi di lahan yang kini menjadi RSPAD.

Rumah yang juga dikenal sebagai Rumah Weltevreden begitu terkenal saat itu karena dimiliki oleh gubernur-gubernur jenderal. Antara lain dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, kemudian Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten.

Loji Freemason

Setelah memahami sedikit latar belakang Weltevreden, peserta PTD bergerak menuju lokasi gedung Loji Bintang Timur di Jalan Budi Utomo.

Gedung yang kini menjadi salah satu kantor dari PT Kimia Farma itu, di masa lalu sempat menjadi tempat pertemuan organisasi Vrijmetselarij atau Freemason.

Gedung yang mulai dibangun sejak 1856 ini murni didanai dari iuran para anggota Freemason sebesar 100 gulden per anggota.

Gedung Loji Bintang Timur yang dulu sempat menjadi gedung pertemuan komunitas Freemason di Indonesia. Kini gedung menjadi kantor dari PT Kimia Farma.
Gedung Loji Bintang Timur yang dulu sempat menjadi gedung pertemuan komunitas Freemason di Indonesia. Kini gedung menjadi kantor dari PT Kimia Farma.

Di masa lalu, gedung dengan arsitektur neoklasik dan campuran lokal ini punya ciri lambang bintang timur di depannya. Karena itu sebutannya jadi Loji Bintang Timur.

Setelah era kemerdekaan, gedung sempat beralih menjadi kantor perusahaan farmasi Belanda hingga akhirnya menjadi kantor Kimia Farma saat terjadi nasionalisasi perusahaan asing tahun 1950-an.

Organisasi Freemason akhirnya juga dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1962.

Sekolahnya F. Silaban

Masih di kawasan Jalan Budi Utomo, peserta PTD menyambangi dua sekolah tua yaitu SMA Negeri 1 dan SMK Negeri 1.

Harus diakui, tak banyak catatan sejarah tentang bangunan dan sejarah sekolah tersebut. Namun menurut Nadia Purwestri, bangunan itu sedari awal memang dibangun untuk Wilhelmina School, sekolah Belanda yang berdiri sejak 1901.

Saat itu sekolah terbagi menjadi sekolah Bagian A untuk sekolah umum dan dagang. Ada juga Bagian B untuk jurusan teknik yaitu teknik mesin kapal, masinis, dan bangunan.

Pada 1911, jurusan A dan B dipisah. Kelak bagian A menjadi SMAN 1 Jakarta, sedangkan jurusan teknik yang menempati gedung di sebelahnya menjadi SMK Negeri 1 Jakarta.

“Salah satu alumni sekolah teknik ini adalah F. Silaban yang merancang Masjid Istiqlal. Meski dia bukan dari anak pejabat, tapi karena kepintarannya, ia bisa bersekolah di sini,” jelas Nadia tentang sosok arsitek yang berasal dari Tapanuli itu.

Selesai renovasi tiga tahun

Sebagai tujuan akhir PTD kali ini, peserta berkesempatan mengunjungi Gedung Kementerian Keuangan RI.

Sejarah keberadaan gedung ini sebenarnya tak lepas dari keputusan Gubernur Jenderal H.W. Daendels yang bermaksud memindahkan pusat pemerintahan dari sekitar kawasan Batavia lama ke Weltevreden.

Gedung yang saat ini dikenal dengan nama AA Maramis ini mulai dibangun pada 1809. Pada awalnya Daendels meniatkan gedung ini sebagai istana gubernur jenderal, karena itu ia memerintahkan pembongkaran kastil Batavia dan tembok kota Batava untuk diambil batu batanya.

Peserta Plesiran Tempo Doeloe Sahabat Museum sedang berada di salah satu ruangan di Gedung AA Maramis, Kementerian Keuangan RI. Gedung yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendels ini baru saja usai direnovasi selama 3 tahun dengan biaya Rp300 miliar.
Peserta Plesiran Tempo Doeloe Sahabat Museum sedang berada di salah satu ruangan di Gedung AA Maramis, Kementerian Keuangan RI. Gedung yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendels ini baru saja usai direnovasi selama 3 tahun dengan biaya Rp300 miliar.

Sayangnya Daendels sendiri tidak pernah menempati istana itu karena harus pindah tugas ke luar negeri. Pembangunannya juga tersendat-sendat dan baru benar-benar selesai pada 1829 di masa Gubernur Jenderal du Bus de Gisignies.

Meski tidak sempat menempati, gedung itu ahirnya dinamai sebagai Paleis van Daendels atau Istana Daendels. Ada juga sebutan lain yaitu "Gedung Putih" (Witte Huis), dan "Rumah Besar" (Grote Huis).

Sayangnya lagi, istana Daendels belakangan ternyata juga batal dipakai jadi kediaman resmi Gubernur Jenderal. Karena pada pertengahan abad ke 19, muncul wacana membangun Istana Koningsplein yang kemudian menjadi Istana Merdeka sebagai tempat tinggal Gubernur Jenderal.

Kesempatan mengunjungi ruangan-ruangan di Gedung AA Maramis tentu disambut gembira oleh peserta PTD. Karena semua peserta bisa mengakses ke hampir seluruh ruangan yang baru saja selesai direnovasi selama 3 tahun dan menghabiskan dana Rp300 milar.

Menurut informasi petugas, saat ini ruangan-ruangan di Gedung AA Maramis hanya sebatas digunakan untuk acara-acara dari Menteri Keuangan RI. Karena itu para peserta benar-benar memanfaatkan kesempatan yang langka ini.

Artikel Terkait