Masjid Cut Meutia, Masjid 'Miring' yang Mengawali Plesiran Tempo Doeloe ke-191

Ade S

Editor

Tampak depan Masjid Cut Meutia yang menjadi titik awal acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) bertajuk 'Kebon Binatang Tjikini'.
Tampak depan Masjid Cut Meutia yang menjadi titik awal acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) bertajuk 'Kebon Binatang Tjikini'.

Intisari-Online.com -Kerumunan orang dengan wajah berseri terlihat di depan Masjid Cut Meutia kawasan Menteng, Jakarta Pusat,Minggu (28/1/2024) pagi.

Mereka adalah para peserta Plesiran Tempo Doeloe (PTD), acara yang bertujuan merawat narasi sejarah bangsa dari masa ke masa.

Acara ini rutin diadakan setiap bulan dengan berbagai rute dan narasi sejarah yang berbeda.

Sebagai sebuah kolaborasi antara komunitas Sahabat Museum dan Intisari, media dengan fokus bahasan sejarah serta tradisi.

Tak ketinggalan, setiap peserta mendapat majalah Intisari sebagai cendera mata perjalanan ini.

Ade Purnama, selaku pendiri Sahabat Museum berperan sebagai pemandu peserta.

Kantor Developer Pertama di Batavia

Berawal dari Masjid Cut Meutia, 42 orang peserta mendalami seluk-beluk kota Jakarta pada masa lampau.

Bangunan dua lantai dengan gaya arsitektur yang identik dengan bangunan masa kolonial ini pada masa Hindia Belanda berfungsi sebagai kantorpengembang N.V. Bouploeg.

Mereka adalah merupakan pengembang wilayah Menteng yang mulai dibangun sekitar tahun 1912.

Saat itu, hampir semua perusahaan yang beroperasi pada sektor pertanian dan perkebunan di Hindia Belanda memiliki kantor pusat yang berlokasi di wilayah Batavia.

Baca Juga: Plesiran Tempo Doeloe, Jelajah Gerbang Amsterdam untuk Merawat Memori Kota Batavia

Oleh karena itu, wilayah Menteng disulap menjadi kompleks perumahan bagi orang-orang yang berkantor di wilayah Batavia.

Para developer mengembangkan perumahan dengan tipe villa bagi orang-orang keturunan Belanda pada masa itu.

Pembangunannya dilakukan pada rentang tahun 1910-1918 oleh tim yang dikepalai seorang arsitek Belanda, P.A.J. Mooijen.

“Kenapa dinamakan tipe villa? Karena rumahnya berdiri sendiri dengan halaman di keempat sisinya. Rumahnya terletak di tengah halaman,” ujar Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur yang juga menjadi narasumber dalam acara kali ini.

Daerah perumahan Menteng waktu itu dijuluki sebagai "kota taman pertama" di Hindia Belanda.

ara peserta Plesiran Tempo Doeloe (PTD) berfoto di lantai 2 Masjid Cut Meutia.
ara peserta Plesiran Tempo Doeloe (PTD) berfoto di lantai 2 Masjid Cut Meutia.

Terbukti dari banyaknya kawasan lahan terbuka hijau yang dibangun seperti Taman Suropati, Taman Lawang, dan Taman Cut Meutia yang berlokasi tidak jauh dari titik kumpul para peserta PTD.

Salah satu pakar tata lingkungan Thomas Karsten, yang sempat singgah di Batavia, menyebutkan bahwa Menteng memenuhi segala kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.

Selain perumahan mewah bagi orang-orang Belanda, developer juga mendirikan permukiman untuk pribumi dengan ukuran rumah yang tentunya lebih kecil di sekitar Jalan Terbang — sekarang menjadi Stasiun Dukuh Atas.

Berbeda dari tipe rumah yang berlokasi di kompleks elit Menteng, pada permukiman pribumi dapat dijumpai rumah kopel yang dibangun pada satu lahan dan hanya dipisahkan dinding sebagai pembeda satu rumah dengan rumah lainnya.

Tujuannya sebagai perkampungan untuk warga lokal yang menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) rumah-rumah di daerah Menteng.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Rencana Ibukota Baru Di Weltevreden

Mereka dikumpulkan dalam satu wilayah perkampungan yang sehat untuk menghindari membawa penyakit pada nyonya rumah dan anak-anaknya.

Menteng terus berkembang menjadi kompleks perumahan elit yang terintegrasi dengan berbagai fasilitas umum dan perkantoran sampai tahun 1930-an.

Meski begitu, ternyata N.V. Bouwploeg menggunakan bangunan ini hanya sampai tahun 1925.

Perusahaan tersebut mengalami pailit karena ditinggalkan sosok arsitek penting P.A.J. Moojen pada tahun 1918.

Dari Kantor Hingga Jadi Masjid

Memasuki bagina dalam Masjid Cut Meutia, kita akan melihat gaya arsitekturdengan pola penataan ruang yang terkesan janggal.

Bagian interiornya agak berbeda dari masjid pada umumnya:arah shafnya mengarah miring dari hampir 45 derajat dan letak mihrab tidak selaras dengan bentuk bangunan.

Maklum, seperti sempat disampaikan di awal artikel,bangunan ini awalnya tidakdifungsikan sebagai tempat ibadah melainkan kantor.

Setelah N.V. Bouploeg bangkrut bangunan ini pernah memiliki berbagai fungsi, mulai dari kantor pos pembantu pada Perang Dunia II digunakan oleh angkatan laut Jepang (1942-1945), Kantor Jawatan Kereta Api hingga tahun 1975, Dinas Perumahan Rakyat (1957-1964), Sekretariat DPRGR pada tahun 1970, hingga Kantor Urusan Agama hingga 1985.

Bangunan ini kemudian diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi pada tanggal 18 Agustus 1987, pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin.(Akbar Gibrani)

Baca Juga: Kongsi Penguasa dan Pengusaha; JP Coen - Souw Beng Kong

Artikel Terkait