"Bagaimana kami bisa pergi ke mana-mana? Kami tidak ingin kembali," ucap Rahman.
Lebih dari satu juta orang Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 1990-an, sebagian besar setelah penumpasan militer pada 2017 yang sekarang menjadi subyek penyelidikan genosida PBB.
Mereka sekarang menghadapi penolakan di pantai Aceh, sebuah provinsi di mana penduduk setempat memiliki kenangan akan konflik berdarah selama puluhan tahun dan telah lama bersimpati terhadap penderitaan sesama Muslim.
Sebuah tim PBB bergegas menuju pulau di ujung utara Sumatra dengan harapan dapat menunda penduduk setempat yang frustrasi dan para pejabat untuk mengembalikan para pengungsi ke perahu mereka.
"Situasi di lapangan saat ini tidak baik," kata rekan perlindungan badan pengungsi PBB, Faisal Rahman.
Dia mengatakan bahwa para pejabat sedang bernegosiasi untuk mencegah kembalinya para pengungsi ke laut.
Dia mengatakan bahwa pejabat setempat dan anggota masyarakat berusaha memaksa PBB untuk merelokasi para pengungsi jika mereka tidak dikirim kembali ke laut.
"Virus penolakan telah menyebar ke semua orang," tambahnya.
Lembaga ini sekarang mendorong pemerintah Indonesia untuk menempatkan para pengungsi Rohingya di tempat penampungan sementara, jauh dari pantai.
Beberapa warga Aceh mengatakan bahwa kesabaran mereka telah diuji, dengan menegklaim bahwa Rohingya mengkonsumsi sumber daya yang langka dan kadang-kadang terlibat konflik dengan penduduk setempat.
Menurut PBB, ratusan pengungsi meninggal atau hilang di laut tahun lalu karena bahaya perjalanan dengan perahu kayu yang tidak layak.
"Kami hanya datang ke sini di negara yang damai ini. Itulah mengapa kami datang ke sini," kata Abdul Rahman.
"Jadi mengapa orang-orang memaksa kami untuk kembali?" ucapnya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR