Intisari-Online.com -Sudah tiga kali pengungsi Rohingya mendapat penolakan dari warga Aceh beberapa hari yang lalu.
Meski begitu, pengungsi dari Myanmar itu bersikukuh tetap ingin tinggal di Indonesia.
Mereka bahkan dengan tegas menyebut tidak mau di tempat lain.
Selasa (21/11) kemarin, kapal yang membawa 219 pengungsi Rohingya berlabuh di Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Aceh.
Tapi sekali lagi, mereka ditolak oleh warga setempat.
Akibatnya, para pengungsi itu harusmeringkuk di pantai semalaman, dilingkari pita kuning garis polisi yang dimaksudkan untuk mencegah melarikan diri.
Barangkali juga untuk melindungi dari warga lokal yang berulang kali menyuruh para pengungsi itu kembali ke laut.
Tapi sekali lagi, para pengungsi itu menolak pergi.
Sempat terjadi keributan di pantai antara para pengungsi dan penduduk loka.
AFP melaporkan, beberapa orang terdengar menangis dan yang lainnya pingsan karena kelelahan.
"Kami telah menderita selama 15 hari di laut," kata seorang pengungsi Roghingya, Abdul Rahman (15) kepada AFP.
Tak bisa dipungkiri, dia cemas terus-terusan mendapat penolakan dari warga Aceh.
"Kami sangat khawatir sekarang. Kami tidak ingin pergi ke tempat lain, kami hanya ingin tinggal di negara ini," ucap dia.
Total jendera dalam seminggu terakhir, pengungsi Rohingya sudah tiga kali mendapat penolakan dari warga Aceh.
Pekan lalu, penduduk setempat mencegah sebuah kapal merapat, memaksa beberapa orang Rohingya yang kelelahan untuk berenang ke daratan dan memohon agar mereka mengizinkan sesama penumpang turun.
Jika ditotal semuanya, sudah ada lebih dari1.000 orang Rohingya telah mendarat di pantai Aceh dalam sepekan terakhir.
Di samping bayi-bayi yang merengek, beberapa anak di pantai terlihar bermain pasir dan membangun istana pada Rabu.
Mereka tampaknya tidak menyadari situasi yang tidak menentu yang terjadi di sekitar merekam.
Pengungsi lain berusaha menutupi wajah mereka dari sinar matahari di atas tanah yang tidak teduh.
Malam sebelumnya, setelah mendarat, kelompok besar itu duduk bersama dalam barisan yang dikelilingi oleh penduduk setempat dan petugas keamanan, dengan hanya senter yang menerangi mereka di tepi pantai.
Alih-alih dibawa ke tempat penampungan, kelompok tersebut, di antaranya 91 perempuan dan 56 anak-anak, dibiarkan berada di atas pasir semalaman tanpa alas tidur.
Rahman mengatakan bahwa para pengungsi tersebut berasal dari berbagai kamp di Bangladesh, dan banyak yang berasal dari Kutupalong, kamp pengungsi terbesar di dunia.
Setelah lebih dari dua minggu berada di lautan, katanya, mesin kapal mereka akhirnya rusak.
Kapal terlihat terombang-ambing di laut.
"Bagaimana kami bisa pergi ke mana-mana? Kami tidak ingin kembali," ucap Rahman.
Lebih dari satu juta orang Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 1990-an, sebagian besar setelah penumpasan militer pada 2017 yang sekarang menjadi subyek penyelidikan genosida PBB.
Mereka sekarang menghadapi penolakan di pantai Aceh, sebuah provinsi di mana penduduk setempat memiliki kenangan akan konflik berdarah selama puluhan tahun dan telah lama bersimpati terhadap penderitaan sesama Muslim.
Sebuah tim PBB bergegas menuju pulau di ujung utara Sumatra dengan harapan dapat menunda penduduk setempat yang frustrasi dan para pejabat untuk mengembalikan para pengungsi ke perahu mereka.
"Situasi di lapangan saat ini tidak baik," kata rekan perlindungan badan pengungsi PBB, Faisal Rahman.
Dia mengatakan bahwa para pejabat sedang bernegosiasi untuk mencegah kembalinya para pengungsi ke laut.
Dia mengatakan bahwa pejabat setempat dan anggota masyarakat berusaha memaksa PBB untuk merelokasi para pengungsi jika mereka tidak dikirim kembali ke laut.
"Virus penolakan telah menyebar ke semua orang," tambahnya.
Lembaga ini sekarang mendorong pemerintah Indonesia untuk menempatkan para pengungsi Rohingya di tempat penampungan sementara, jauh dari pantai.
Beberapa warga Aceh mengatakan bahwa kesabaran mereka telah diuji, dengan menegklaim bahwa Rohingya mengkonsumsi sumber daya yang langka dan kadang-kadang terlibat konflik dengan penduduk setempat.
Menurut PBB, ratusan pengungsi meninggal atau hilang di laut tahun lalu karena bahaya perjalanan dengan perahu kayu yang tidak layak.
"Kami hanya datang ke sini di negara yang damai ini. Itulah mengapa kami datang ke sini," kata Abdul Rahman.
"Jadi mengapa orang-orang memaksa kami untuk kembali?" ucapnya.