Ratusan pengungsi etnis Rohingya mendapat penolakan dari warga Aceh di dua tempat. Sebenarnya, dari mana asal etnis minoritas di Myanmar ini?
Intisari-Online.com -Belum lama ini, ratusan pengungsi Rohingya menginjakkan kaki di Aceh.
Kedatangan mereka kemudian menjadi perbincangan lantaran mendapatkan penolakan dari warga setempat.
Sebagai bentuk penolakan, warga setempat itu menodorong kapal yang ditumpangi para pengungsi kembali ke laut.
Tak hanya di satu tempat, mereka ditolak di dua tempat.
Pertama di Bireun, kedua di Aceh Utara, seperti disampaikan oleh Panglima Laot Aceh Miftach Tjuk Adek pada Jumat (17/11).
Terlepas dari kedatangan dan penolakan dari warga Aceh, bagaimana asal-usul etnis Rohingya yang saat ini nasibnya terlunta-lunta?
Mengutip pemberitaan Kompas.com, etnis Rohingya adalahkelompok etnis asal Mynamar yang mayoritas beragama Islam.
Myanmar sendiri adalah negara dengan mayoritas pemeluk Buddha.
Berbeda dengan mayoritas masyarakat Myanmar lainnya, orang-orang Rohingya berbicara menggunakan bahasa Rohingya atauRuaingga.
Secara dialek, ia sama sekali berbeda dengan dialek masyarakat Myanmar lainnya.
Para sejarawan bilang,warga Rohingya telah tinggal di wilayah bernama Arakan yang kini berada di Myanmar bagian barat sejak awal abad ke-12.
Saat Myanmar masih menjadi wilayah India di bawah penjajahan Inggris pada 1824-1948, terjadi migrasi pekerja dari India dan Bangladesh.
Orang Rohingya yang beragama Islam dianggap sebagai orang Bengali dari Bangladesh yang penduduknya mayoritas Islam.
Saat Myanmar merdeka, pemerintah menganggap migrasi di masa penjajahan sebagai tindakan ilegal dan menolak kewarganegaraan orang Rohingya.
Mirisnya, mereka, etnis Rohingya,tidak dianggap sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut.
Pemerintah Myanmar bahkan menolak memberi mereka kewarganegaraan sejak 1982.
Hampir seluruh warga Rohingya tinggal di wilayah Myanmar yang kini bernama Rakhine.
Mereka tidak boleh keluar dari salah satu wilayah termiskin di negara tersebut tanpa izin pemerintah.
Akibatnya, mereka kesulitan untuk belajar, menikah, menjalankan agama, bekerja, dan mendapatkan layanan kependudukan.
Karena ketidakadilan yang mereka terima, orang-orang Rohingya mulai berpikir untuk meninggalkan Myanmar.
Itu terjadi sejak akhir 1970-an.
Gelombang terbesar pengungsian terjadi pada 2017 lalu, seperti dirilis oleh situs Badan Pengungsi PBB (UNHCR).
Gelombang pengungsian itu terjadi menyusul pembakaran desa Rohingya,ribuan penduduk terbunuh, juga terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih dari 742.000 orang terpaksa mengungsi ke negara tetangga di Bangladesh.
Setengah di antaranya adalah anak-anak.
Hingga Agustus 2023, diperkirakan lebih dari 1,8 juta pengungsi Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar.
Mayoritas mengungsi ke Bangladesh dan negara lain termasuk Thailand, India, Indonesia, dan Nepal.
Meski begitu, lembaga nirlaba Human Rights Watch memperkirakan 600.000 orang Rohingya masih tinggal di Rakhine, Myanmar dan terus mendapatkan kekerasan dan tidak diberi haknya.
Alasan banyak negara menolak Rohingya
Para pengungsi Myanmar meninggalkan negaranya dengan menaiki kapal kayu yang penuh orang dan tidak layak berlayar.
Sayangnya, dilansir dari National Public Radio (NPR), banyak negara menolak kapal-kapal Rohingya berlabuh di wilayah mereka.
Pejabat Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha menolak karena kerap melawan pemberontakan dari kelompok penganut Islam.
Thailand juga tidak mampu mengurus imigran yang bisa melanggar hukum di sana.
Indonesia dan Malaysia yang penduduknya mayoritas Islam juga menolak untuk mencegah timbul masalah sosial dari para pengungsi.
Mereka juga tidak ingin tindakan menerima orang Rohingya akan membuat gelombang pengungsi yang tidak terkendali memasuki negara tersebut.