Dia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.
Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat. Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.
Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.
Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki.
Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.
"Engkau sekalian sekarang sudah melihat apa yang terjadi jika mendukung para teroris dan pengacau. Harap ini dicamkan benar-benar," ancam Westerling kepada mereka yang masih hidup.
Kemudian pada 1 Februari, DST dan KNIL menggelar operasinya di Galung Lombok.
Sebanyak 364 orang tewas.
Operasi Westerling berlangsung selama lebih dari tiga bulan, dari 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947.
Sedikitnya 40.000 orang tewas dibantai Westerling dan pasukannya.
Pembantaian Westerling menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.
Kekejaman itu meninggalkan penderitaan dan trauma yang mendalam.
Pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili.
Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.
Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil.
Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.
Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut.
Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan.
Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000.
Belanda sendiri baru mengakui dan meminta maaf atas kejahatan itu 67 tahun setelahnya.
Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda lewat Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan meminta maaf untuk semua eksekusi-eksekusi tanpa pengadilan di seluruh Nusantara pada periode 1945-1950.
Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp 296 juta).
Namun tidak semua mendapat ganti rugi karena terbentur status dan masa gugatan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR