Intisari-online.com -Pada tanggal 23 Januari 1950, kota Bandung menjadi saksi sejarah dari salah satu pemberontakan yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan.
Pemberontakan ini dilakukan oleh kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling.
APRA adalah pasukan pro-Belanda yang menolak hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).
APRA berusaha untuk mempertahankan bentuk negara federal dan menggulingkan pemerintahan RIS yang dianggap Jawa sentris.
Latar belakang pemberontakan APRA dapat ditelusuri dari peran Westerling dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Westerling adalah seorang perwira Belanda yang lahir di Turki dan bergabung dengan tentara Kerajaan Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) pada tahun 1940.
Ia menjadi komandan dari kesatuan khusus Depot Speciale Troepen (DST) yang bertugas untuk melakukan operasi rahasia dan kontra gerilya melawan pejuang Indonesia.
Westerling dikenal sebagai sosok yang kejam dan brutal dalam menjalankan tugasnya.
Ia bertanggung jawab atas pembantaian ribuan orang sipil di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 1946-1947.
Ia juga terlibat dalam upaya pembunuhan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tahun 1948.
Pada tahun 1949, Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian KMB yang mengakhiri perang kemerdekaan Indonesia.
Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda akan menarik pasukan KL (Koninklijk Leger) dari Indonesia dan membubarkan tentara KNIL.
Pasukan KNIL akan dimasukkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI.
Perjanjian ini juga membentuk RIS sebagai negara federal yang terdiri dari 16 negara bagian, termasuk Pasundan yang meliputi wilayah Jawa Barat.
Westerling dan pasukan KNIL merasa dirugikan dengan perjanjian KMB.
Mereka takut mengalami hukuman atau ancaman saat menyatu dengan TNI.
Mereka juga tidak setuju dengan bentuk negara RIS yang dianggap melemahkan posisi Belanda dan Pasundan.
Mereka menginginkan bentuk negara federal yang lebih kuat dan otonom.
Kronologi
Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling berhasil mengumpulkan sekitar 8.000 pasukan dari desertir dan anggota KNIL.
Ia juga mendapatkan dukungan dari sebagian pemimpin Pasundan yang tidak puas dengan RIS.
Ia menamai pasukannya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), mengambil nama dari tokoh mitos Jawa yang dipercaya akan datang untuk membawa keadilan.
Pada tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirimkan sebuah ultimatum ke pemerintah RIS agar mengakui negara bagian Pasundan dan APRA sebagai tentara Pasundan.
Ultimatum ini ditolak oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta yang kemudian memerintahkan penangkapan Westerling.
Westerling mengetahui rencana penangkapannya dan memutuskan untuk melancarkan kudeta terhadap pemerintah RIS.
Ia menargetkan dua kota utama, yaitu Jakarta dan Bandung.
Jakarta menjadi target karena di sana sedang berlangsung sidang kabinet RIS untuk membahas kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan.
Bandung menjadi target karena di sana terdapat markas besar Divisi Siliwangi, pasukan TNI yang paling loyal kepada RIS.
Pada tanggal 23 Januari 1950 pagi, sekitar 800 pasukan APRA bergerak dari Cimahi menuju pusat kota Bandung.
Mereka membawa senjata lengkap dan kendaraan militer.
Mereka masuk ke kota Bandung tanpa mendapat perlawanan karena mereka mengenakan seragam KNIL yang masih dihormati oleh rakyat.
Pasukan APRA menuju ke markas Divisi Siliwangi di Jalan Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong).
Di sana mereka menembaki semua orang berseragam TNI yang mereka temui tanpa ampun.
Mereka juga menyerbu gedung-gedung pemerintahan, stasiun radio, telepon, listrik, dan pos polisi.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan APRA dan tentara Siliwangi yang tersisa di markasnya.
Baca Juga: Keganasan Pasukan Gajah Inggris Hancurkan Musuh, dalam Peristiwa Perang Dunia II
Pertempuran ini menewaskan Letkol Adolf Lembong, komandan Divisi Siliwangi, dan puluhan tentara lainnya.
Akhirnya, pasukan APRA berhasil menguasai markas Siliwangi.
Sementara itu, di Jakarta, Westerling berusaha untuk menyerbu Istana Merdeka dan menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Namun rencananya gagal karena pasukan APRA yang diperintahkan untuk membantunya tidak datang.
Westerling kemudian mencoba untuk melarikan diri ke Bandung dengan pesawat terbang.
Akibat
Pemberontakan APRA di Bandung hanya berlangsung selama beberapa jam.
Pasukan TNI dari luar kota segera datang untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Pasukan APRA tidak mampu bertahan lama karena kekurangan amunisi dan dukungan rakyat.
Pasukan TNI berhasil merebut kembali markas Divisi Siliwangi dan mengepung pasukan APRA di beberapa titik di kota Bandung.
Sebagian besar pasukan APRA tertangkap atau tewas dalam pertempuran tersebut.
Westerling sendiri berhasil lolos dari kepungan TNI dengan bantuan seorang pilot Belanda bernama Van der Wal.
Ia terbang ke Singapura dan kemudian ke Eropa dengan menggunakan identitas palsu.
Pemberontakan APRA menyebabkan korban jiwa sekitar 200 orang, termasuk tentara TNI, polisi, pegawai negeri sipil, dan warga sipil.
Pemberontakan ini juga meninggalkan trauma bagi masyarakat Bandung yang menyaksikan aksi brutal pasukan APRA.
Pemberontakan APRA juga mempengaruhi politik nasional Indonesia.
Pemberontakan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah RIS untuk bubar dan membentuk Republik Indonesia sebagai negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Penutup
Peristiwa APRA Westerling adalah salah satu contoh dari tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya dari campur tangan asing.
Peristiwa ini juga menjadi bukti dari keberanian dan pengorbanan tentara TNI dalam menjaga kedaulatan negara.
Peristiwa ini harus kita ingat sebagai bagian dari sejarah bangsa kita yang tidak boleh dilupakan atau diputarbalikkan.
Peristiwa ini juga harus menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.