Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Soeharto akhirnya memutuskan mundur setelah 32 tahun jadi presiden Indonesia. Orang-orang mengenangnya sebagai lahirnya era reformasi.
Intisari-Online.com -Orang-orang mengenang 21 Mei sebagai harinya reformasi.
Di tanggal ini, pada 1998 lalu, Soeharto resmi lengser dari singgasananya setelah 32 tahun memerintah Indonesia.
Ini adalah masa ketika ribuan mahasiswa dan masyarakat ramai-ramai menduduki Gedung DPR/MRR merayakan tumbangnya Orde Baru.
Lalu seperti apa detik-detik jatuhnya Soeharto dari kekuasaan?
21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden.
Sudah 32 tahun dia menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Setelah mengundurkan diri, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie yang menandai awal pemerintahan reformasi dalam sejarah Indonesia.
Pengunduran diri Soeharto itu dilakukan setelah muncul desakan agar ia turun dari kursi presiden menyusul krisis moneter yang melanda Indonesia serta demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan di berbagai daerah.
Pada 18 Mei 1998, terjadi demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa di gedung DPR/MPR.
Sebenarnya beberapa bulan sebelumnya sudah ada demonstrasi oleh mahasiswa, namun tidak sebesar pada hari itu.
Dikutip dari Kompas.com Kamis (18/5/2023), para mahasiswa merangsek masuk dan menduduki gedung DPR/MPR.
Aksi yang dilakukan sejak pagi itu dilakukan oleh mahasiswa untuk meminta Presiden Soeharto segera mundur dari jabatannya
Para mahasiswa juga membawa spanduk panjang yang berisi tuntutan agar Soeharto turun dari kursi presiden.
Sempat terjadi ketegangan antara mahasiswa dengan sekelompok orang yang justru mendukung Presiden Soeharto dan menolak Sidang Istimewa MPR.
Namun ketegangan itu dapat diredakan setelah Komandan Kodim (Dandim) Jakarta Pusat Letkol Inf S Widodo menengahi kedua kelompok tersebut.
Sekitar pukul 11.30 WIB mahasiswa berhasil masuk ke dalam gedung DPR.
Mahasiswa tersebut berasal dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).
FKSMJ diwakili oleh 50 orang yang berasal dari berbagai kampus.
Mereka menuntut segera dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk melengserkan Soeharto.
Keberhasilan itu membuat kelompok mahasiswa lainnya juga ikut bernegosiasi agar bisa masuk ke dalam gedung DPR.
Hasilnya, sejumlah mahasiswa diperbolehkan masuk pada 13.00 WIB.
Pada hari yang sama, perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin oleh rektor Soleh Salahuddin datang di gedung DPR.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk menyampaikan tuntutan reformasi di segala bidang.
Selain mahasiswa, banyak tokoh dari berbagai lembaga ikut menyuarakan tuntutan reformasi dan meminta Soeharto mundur.
Salah satunya adalah Harmoko.
Harmoko yang saat itu menjabat pimpinan MPR/DPR turut meminta Soeharto segera mengundurkan dalam konferensi pers.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko dikutip dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998.
“Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional,” lanjutnya.
Dilansir dari Kompas.com (21/5/2021), saat Harmoko menyatakan hal itu, ia didampingi oleh seluruh wakil ketua DPR, yakni Ismail Hasan Materum, Syarwan Hamid, Badul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pernyataan Harmoko itu pun cukup mengejutkan berbagai pihak, mengingat posisi dan latar belakangnya sebagai salah satu orang dekat Soeharto.
Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI menganggap pernyataan itu hanyalah pendapat pribadi.
Sementara itu, Soeharto menerima empat menteri koordinator (menko) di kediamannya, Jalan Cendana.
Empat menko itu melaporkan kondisi terkini perkembangan politik.
Para menko berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII yang baru saja dibentuk untuk dibubarkan, bukan di-reshuffle.
Hal itu bertujuan agar mereka tidak terpilih lagi dalam Kabinet Reformasi supaya tidak terlalu terlanjur malu dengan apa yang saat itu terjadi.
Namun, Soeharto mengatakan bahwa urusan kabinet adalah urusannya yang membuat para menko heran karena Soeharto sudah tahu, hingga tidak ada yang berani membicarakan wacana itu.
Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan ulama dan tokoh masyarakat pada 19 Mei 1998 pagi.
Tokoh yang hadir antara lain Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), dan Sumarsono (Muhammadiyah).
Setelah pertemuan itu, Soeharto pun menyatakan akan me-reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi.
Menurut Nurcholish, ide itu muncul dari Soeharto sendiri.
Tidak ada tokoh yang menyampaikannya kepada Soeharto.
Namun, Nurcholish dan Gus Dur menolak untuk terlibat dalam Komite Reformasi.
Tanda-tanda Soeharto akan mundur sebenarnya sudah tampak pada pertemuan tersebut, namun ada dua orang yang tidak setuju dengan hal itu karena dianggap tidak menyelesaikan masalah.
Sore harinya, Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Ginandjar Kartasasmita menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi, yakni Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet.
Pada intinya mereka menganggap tindakan itu hanya mengulur-ulur waktu.
Kegelisahan Soeharto pun semakin bertambah pada 20 Mei 1998.
Saat itu 14 menteri bidang Ekuin sepakat tidak bersedia mendapat peran dalam Komite Reformasi ataupun kabinet reformasi hasil reshuffle.
Awalnya, keinginan para menteri bidang Ekuin itu ingin disampaikan secara langsung kepada Soeharto, namun akhirnya diputuskan menyampaikannnya melalui sepucuk surat.
Surat itu disampaikan oleh Kolonel Sumardjono pada malam hari.
Soeharto pun segera masuk ke kamar dan membaca surat itu.
Adapun 14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas, adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah.
Kemudian Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Setelah menerima surat itu, Soeharto merasa ditinggal oleh para menterinya.
Soeharto kemudian memanggil Habibie untuk memberitahukan soal kemungkinan mundur.
Habibie diminta untuk siap jika kekuasaan diserahkan kepadanya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana pada malam itu, mengungkapkan jika Soeharto terlihat gugup dan bimbang.
"Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan presiden," ujarnya.
Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Habibie.
Kemudian, sekitar pukul 23.20 WIB Yusril bertemu Amien Rais.
Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan rencana Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned" (orang tua itu kemungkinan besar mundur).
Pada 21 Mei 1998 dini hari, pukul 01.30 WIB, Amien Rais bersama sejumlah tokoh reformasi menggelar jumpa pers.
Dalam jumpa pers itu, Amien mengatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru."
Mengutip dari Kompas.com (21/5/2021), Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
"Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidatonya.
Pengumuman itu menjadi klimaks dari demo dan kerusuhan yang sudah berlangsung cukup lama di berbagai daerah pada 1998.
Para pendemo yang menduduki Gedung DPR/MPR pun bersuka cita atas pengunduran diri Soeharto.