Indonesia Menyebut Sosok Ini Sebagai Penjahat Perang Brutal, Putrinya Mati-matian Membersihkan Namanya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Raymon Westerling dianggap sebagai penjahat perang yang brutal selama Perang Kemerdekaan. Putrinya, Palmyra Westerling, mati-matian membersihkan nama ayahnya.
Raymon Westerling dianggap sebagai penjahat perang yang brutal selama Perang Kemerdekaan. Putrinya, Palmyra Westerling, mati-matian membersihkan nama ayahnya.

Raymon Westerling dianggap sebagai penjahat perang yang brutal selama Perang Kemerdekaan. Putrinya, Palmyra Westerling, mati-matian membersihkan nama ayahnya.

Intisari-Online.com -Walikota Amsterdam Femke Halsema memastikan tak akan hadir di Dam Square di Amsterdam dalam acara National Indies Remembrance pada 15 Agustus 2023 besok.

Dilansir NL Times, ketidakhadirannya karena putri Raymond Westerling diundang sebagai pembicara tamu pada acara tersebut.

National Indies Remembrance sendiri merupakan peringatan tahunan tiap tanggal 15 Agustus dalam rangka berakhirnya pendudukan Jepang di Hindi Belanda.

Itu juga adalah akhir dari Perang Dunia II.

Di hari itu, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki, dibom atom oleh Amerika Serikat.

Raymond Westerling sendiri adalah tokoh kontroversial dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Saat zaman Perang Kemerdekaan--pihak Belanda menyebutnya sebagia masa Bersiap--Westerling telah memimpin tindakan-tindakan brutal tentara Belanda terhadap masyarakat Indonesia.

Oleh pihak Indonesia, apa yang dilakukan Westerling ini sebagai sebuah Kejahatan Perang.

Westerling, masih dari sumber yang sama, tidak pernah membantah tindakan kejamnya itu.

Meski begitu, dia menolak disebut melakukan kejahatan perang.

Atas tindakan Westerling, pada 2013 lalu, Duta Besar Belanda untuk Indonesia meminta maaf kepada pemerintah Indonesia.

Pemerintah Belanda juga memberikan sejumlah kompensasi kepada janda-janda yang masih hidup akibat tindakan Westerling.

Westerling tidak sendirian, ternyata sang putri, Palmyra Westerling, juga mati-matian mencoba membersihkan nama ayahnya.

Palmyra menjadi sorotan pada 2021 ketika dia menulis surat terbuka yang mendesak pemboikotan film Oost.

Itu adalah film Belanda yang dirilis pada Juni 2021 yang berlatar Perang Kemerdekaan Indonesia yang menggambarkan tindakan brutal Westerling.

Palmyra bilang dalam suratnya, pembuat film itu telah "memalsukan sejarah" dan "menggambarkan tentara KNIL laiknya penjahat perang Nazi".

Bagaimana pembantaian Westerling?

Pembantaian Westerling merupakan peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947.

Pembantaian dilakukan oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.

Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang pergi.

Di berbagai daerah, rakyat Indonesia harus berperang melawan pasukan Belanda.

Selain melakukan agresi militer, Belanda juga berusaha memecah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka berbentuk negara federal.

Ini terjadi di Sulawesi Selatan.

Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.

Pada akhir 1946, 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar.

Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946.

Mereka ditugasi untuk menumpas pemberontak.

Pemberontak adalah kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.

Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.

Dia menulis kekejaman Belanda dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018).

Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.

Sesampai di Makassar, dia membangun kamp di Mattoangin.

Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua.

Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.

Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda.

Dia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.

Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat. Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.

Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.

Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki.

Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.

"Engkau sekalian sekarang sudah melihat apa yang terjadi jika mendukung para teroris dan pengacau. Harap ini dicamkan benar-benar," ancam Westerling kepada mereka yang masih hidup.

Kemudian pada 1 Februari, DST dan KNIL menggelar operasinya di Galung Lombok.

Sebanyak 364 orang tewas.

Operasi Westerling berlangsung selama lebih dari tiga bulan, dari 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947.

Sedikitnya 40.000 orang tewas dibantai Westerling dan pasukannya.

Pembantaian Westerling menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.

Kekejaman itu meninggalkan penderitaan dan trauma yang mendalam.

Pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili.

Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.

Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil.

Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.

Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut.

Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan.

Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000.

Belanda sendiri baru mengakui dan meminta maaf atas kejahatan itu 67 tahun setelahnya.

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda lewat Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan meminta maaf untuk semua eksekusi-eksekusi tanpa pengadilan di seluruh Nusantara pada periode 1945-1950.

Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp 296 juta).

Namun tidak semua mendapat ganti rugi karena terbentur status dan masa gugatan.

Artikel Terkait