Pada tahun 1953, Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1953 tentang Penetapan Daerah-daerah Darurat Militer yang mencakup Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Pada tahun 1957, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution untuk menangani masalah keamanan nasional akibat pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta.
Kopkamtib melakukan operasi militer besar-besaran untuk mengejar dan menangkap para pemimpin dan anggota DI/TII.
Pada tahun 1962, pasukan Kopkamtib berhasil menemukan markas besar Kartosoewirjo di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat.
Kartosoewirjo ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 setelah terlibat baku tembak dengan pasukan Kopkamtib.
Ia kemudian dibawa ke Jakarta untuk diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
Dalam persidangan yang berlangsung dari tanggal 11 Juni hingga 5 September 1962, Kartosoewirjo didakwa melakukan makar terhadap negara dengan mendirikan NII dan melakukan pemberontakan bersenjata melalui DI/TII.
Ia juga didakwa bertanggung jawab atas berbagai tindak kejahatan seperti pembunuhan, penculikan, perampokan, pembakaran, dan lain-lain yang dilakukan oleh anggota DI/TII.
Kartosoewirjo membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud melakukan makar terhadap negara, tetapi hanya ingin mendirikan negara Islam sebagai bagian dari Indonesia.
Juga mengatakan bahwa ia tidak mengetahui semua tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota DI/TII, karena ia tidak memiliki kendali penuh atas mereka.
Ia mengaku hanya bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang ia perintahkan secara langsung.
Namun, pembelaan Kartosoewirjo tidak diterima oleh hakim.
Lali dinyatakan bersalah atas semua dakwaan yang diajukan kepadanya. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak.
Sebelum dieksekusi, Kartosoewirjo sempat menulis surat wasiat kepada Presiden Soekarno.
Dalam surat tersebut, ia meminta agar Presiden Soekarno mengampuni kesalahannya dan menerima permintaannya untuk dimakamkan di tanah suci Mekkah.
Juga meminta agar Presiden Soekarno menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan menghapuskan segala bentuk penindasan terhadap rakyat.
Namun, permintaan Kartosoewirjo tidak dikabulkan oleh Presiden Soekarno.
Ia dieksekusi mati dengan cara ditembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada tanggal 5 September 1962. Jenazahnya dimakamkan di pulau tersebut tanpa upacara apapun.
Dengan kematian Kartosoewirjo, gerakan NII atau DI/TII mengalami kemunduran yang signifikan.
Meskipun masih ada beberapa kelompok yang melanjutkan perjuangan mereka, mereka tidak memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar seperti sebelumnya.
Pada tahun 1965, pemerintah mengumumkan bahwa gerakan NII atau DI/TII telah berhasil ditumpas secara total.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR