Intisari-online.com - Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 7 Januari 1905.
Ia merupakan anak dari Kartodikromo, seorang lurah di Cepu.
Salah satu saudaranya, Marco Kartodikromo, adalah seorang penulis anti-Belanda berhaluan kiri.
Ayahnya sendiri adalah keturunan Arya Penangsang, adipati Jipang di abad ke-16.
Kartosoewirjo mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan modern berkat kedudukan ayahnya yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.
Pada tahun 1901, Belanda menerapkan politik etis (politik balas budi) yang menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi.
Pada usia 8 tahun, Kartosoewirjo bersekolah di Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK).
Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa).
Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi.
Di Bojonegoro, Kartosoewirjo bertemu dengan Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang beraliran Muhammadiyah.
Notodiharjo menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo.
Baca Juga: 20 Ucapan Selamat Menempuh Hidup Baru Islami untuk Sosok Sahabat atau pun Kerabat
Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands-Indische Artsenschool.
Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keislaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi.
Karier Politik
Kartosoewirjo mulai aktif dalam dunia politik sejak tahun 1924.
Ia menjadi anggota SI cabang Surabaya dan kemudian menjadi ketua SI cabang Cirebon pada tahun 1926.
Ia juga menjadi redaktur surat kabar Oetoesan Hindia dan Sinar Hindia yang merupakan organ SI.
Kemudian menulis banyak artikel tentang isu-isu sosial, ekonomi, dan politik dari sudut pandang Islam.
Baca Juga: Sosok Jenderal Hoegeng, Polisi Paling Jujur dan Anti Suap Menurut Gus Dur
Pada tahun 1927, ia terlibat dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung yang memutuskan untuk mengubah nama SI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Ia juga menjadi salah satu pendiri Persatuan Umat Islam (PUI) yang merupakan organisasi keagamaan yang berafiliasi dengan PSII.
Lalu menjadi anggota pengurus pusat PUI dan kemudian menjadi ketua PUI cabang Cirebon pada tahun 1928.
Pada tahun 1930, ia pindah ke Jakarta dan menjadi anggota pengurus pusat PSII.
Ia juga menjadi redaktur surat kabar Fadjar Asia yang merupakan organ PSII.
Kemudian menulis banyak artikel tentang isu-isu keislaman, kemerdekaan, dan perjuangan rakyat.
Pada tahun 1937, ia terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang merupakan lembaga perwakilan rakyat di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Ia mewakili fraksi PSII dan menjadi salah satu anggota Volksraad yang paling vokal dalam menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia.
Beliau juga aktif dalam berbagai komisi dan panitia yang membahas berbagai masalah seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan lain-lain.
Pada tahun 1941, ia terpilih kembali menjadi anggota Volksraad untuk periode kedua.
Namun, sebelum ia bisa dilantik, Jepang menyerang dan menduduki Indonesia pada bulan Maret 1942.
Baca Juga: Mengenal Sosok R. S. Soekanto, Pendiri Polri yang Menginspirasi Nama Bhayangkara
Pemerintahan kolonial Belanda runtuh dan Volksraad dibubarkan oleh Jepang.
Kartosoewirjo bersama dengan beberapa anggota Volksraad lainnya ditangkap dan ditahan oleh Jepang di kamp interniran di Bandung.
Perjuangan Kemerdekaan
Kartosoewirjo dibebaskan dari kamp interniran pada bulan Agustus 1944.
Ia kemudian bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada bulan April 1945.
Lalu menjadi salah satu anggota BPUPKI yang mewakili golongan Islam.
Juga terlibat dalam Panitia Sembilan yang membahas rancangan Pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Kartosoewirjo mendukung proklamasi tersebut dan menganggapnya sebagai tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia.
Kemudian bergabung dengan Komite Nasional Indonesia (KNI) yang merupakan lembaga perwakilan rakyat sementara yang dibentuk oleh Soekarno pada bulan September 1945.
Dirinya menjadi anggota KNI yang mewakili golongan Islam.
Pada bulan Oktober 1945, ia terpilih menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) yang merupakan lembaga eksekutif sementara yang bertugas membantu presiden dan wakil presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Ia juga menjadi ketua fraksi Islam di BP KNIP.
Kemudian menjadi salah satu tokoh politik yang berpengaruh dalam masa revolusi fisik melawan Belanda.
Pada tahun 1946, ia terlibat dalam Konferensi Malino yang merupakan pertemuan antara tokoh-tokoh dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas masalah persatuan nasional.
Ia mewakili golongan Islam dan menentang gagasan pembentukan negara-negara federal di Indonesia.
Berpendapat bahwa Indonesia harus tetap bersatu sebagai satu negara kesatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada tahun 1947, ia terlibat dalam Konferensi Investigasi Calcutta yang merupakan pertemuan antara delegasi Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk membahas masalah penyelesaian konflik antara kedua belah pihak.
Ia mewakili golongan Islam dan menuntut agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara utuh dan tanpa syarat.
Pendirian NII
Pada tahun 1949, Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian Roem-Royen yang mengakhiri Agresi Militer Belanda II dan membuka jalan untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
KMB menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dengan syarat bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari Uni Indonesia-Belanda dan mengakui kedaulatan Belanda atas Papua Barat.
Kartosoewirjo menolak hasil KMB dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Ia juga menolak ideologi Pancasila yang dijadikan dasar negara Indonesia.
Ia berpendapat bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kemudian menginginkan agar Indonesia menjadi negara Islam yang menerapkan hukum syariah secara penuh.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan memproklamasikannya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampih, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ia menjabat sebagai imam (pemimpin) NII dan mengangkat beberapa tokoh Islam sebagai menteri-menterinya.
Juga membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai sayap militer NII yang bertugas untuk melawan pemerintah pusat dan Belanda.
Gerakan NII atau DI/TII kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Gerakan ini melakukan berbagai aksi pemberontakan, sabotase, terorisme, dan propaganda untuk menggulingkan pemerintah pusat dan mendirikan negara Islam.
Akhir Hayat
Pemerintah pusat tidak tinggal diam menghadapi gerakan NII atau DI/TII.
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, baik melalui jalur militer maupun diplomasi.
Pada tahun 1953, Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1953 tentang Penetapan Daerah-daerah Darurat Militer yang mencakup Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Pada tahun 1957, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution untuk menangani masalah keamanan nasional akibat pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta.
Kopkamtib melakukan operasi militer besar-besaran untuk mengejar dan menangkap para pemimpin dan anggota DI/TII.
Pada tahun 1962, pasukan Kopkamtib berhasil menemukan markas besar Kartosoewirjo di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat.
Kartosoewirjo ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 setelah terlibat baku tembak dengan pasukan Kopkamtib.
Ia kemudian dibawa ke Jakarta untuk diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
Dalam persidangan yang berlangsung dari tanggal 11 Juni hingga 5 September 1962, Kartosoewirjo didakwa melakukan makar terhadap negara dengan mendirikan NII dan melakukan pemberontakan bersenjata melalui DI/TII.
Ia juga didakwa bertanggung jawab atas berbagai tindak kejahatan seperti pembunuhan, penculikan, perampokan, pembakaran, dan lain-lain yang dilakukan oleh anggota DI/TII.
Kartosoewirjo membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud melakukan makar terhadap negara, tetapi hanya ingin mendirikan negara Islam sebagai bagian dari Indonesia.
Juga mengatakan bahwa ia tidak mengetahui semua tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota DI/TII, karena ia tidak memiliki kendali penuh atas mereka.
Ia mengaku hanya bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang ia perintahkan secara langsung.
Namun, pembelaan Kartosoewirjo tidak diterima oleh hakim.
Lali dinyatakan bersalah atas semua dakwaan yang diajukan kepadanya. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak.
Sebelum dieksekusi, Kartosoewirjo sempat menulis surat wasiat kepada Presiden Soekarno.
Dalam surat tersebut, ia meminta agar Presiden Soekarno mengampuni kesalahannya dan menerima permintaannya untuk dimakamkan di tanah suci Mekkah.
Juga meminta agar Presiden Soekarno menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan menghapuskan segala bentuk penindasan terhadap rakyat.
Namun, permintaan Kartosoewirjo tidak dikabulkan oleh Presiden Soekarno.
Ia dieksekusi mati dengan cara ditembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada tanggal 5 September 1962. Jenazahnya dimakamkan di pulau tersebut tanpa upacara apapun.
Dengan kematian Kartosoewirjo, gerakan NII atau DI/TII mengalami kemunduran yang signifikan.
Meskipun masih ada beberapa kelompok yang melanjutkan perjuangan mereka, mereka tidak memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar seperti sebelumnya.
Pada tahun 1965, pemerintah mengumumkan bahwa gerakan NII atau DI/TII telah berhasil ditumpas secara total.