Melihat situasi yang tidak kondusif itu, dia meminta Soeharto segera mengundurkan dalam konferensi pers.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko dikutip dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998.
“Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional,” lanjutnya.
Saat Harmoko menyatakan hal itu, ia didampingi oleh seluruh wakil ketua DPR, yakni Ismail Hasan Materum, Syarwan Hamid, Badul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pernyataan Harmoko itu pun cukup mengejutkan berbagai pihak, mengingat posisi dan latar belakangnya sebagai salah satu orang dekat Soeharto.
Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI menganggap pernyataan itu hanyalah pendapat pribadi.
Selain anjuran Harmoko, sejumlah menteri juga menolak tergabung dalam Komite Reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto.
Tak main-main, ada 14 menteri yang menolak.
Kondisi itu membuat Soeharto seperti ditinggal oleh orang-orang kepercayannya.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998 pagi, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada BJ Habibie.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR