Intisari-Online.com -Perjanjian Renville, bagia sebagian orang, adalah salah satu jalan untuk mencapai kedaulatan penuh atas Indonesia.
Tapi ada juga yang beranggapan, perjanjian yang dilakukan di atas geladak kapal perang itu justru merugikan pihak Indonesia.
Ternyata, munculnya gerakan DI/TII Kartosuwiryo disebabkan oleh peristiwa penting itu.
Bagaimana kisah lengkapnya?
DI/TII atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, merupakan gerakanpemberontakan dengan tujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Pemberontakan DI/TII pertama kali terjadi di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwiryo pada 1949.
Setelah itu, aksi pemberontakan ini terus meluas sampai ke wilayah-wilayah lain, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.
Jawa Barat
Penyebab terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilatarbelakangi oleh rasa tidak puas dari Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebab, kemerdekaan RI saat itu masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda yang masih berusaha menduduki kembali Indonesia.
Terlebih setelah perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948.
Menurut Kartosuwiryo, perjanjian Renville justru banyak memberi kerugian bagi pihak Indonesia.
Sebab, wilayah Indonesia menjadi lebih sedikit, sedangkan Belanda menguasai wilayah-wilayah hasil pangan.
Selain itu, perjanjian Renville juga dianggap tidak dapat melindungi warga Jawa Barat.
Akibatnya, Kartosuwiryo yang merasa kecewa, memilih mendirikan negara Islam yang bernama Negara Islam Indonesia (NII) yang ia pimpin sendiri.
Dia memproklamasikan berdirinya NII melalui maklumat pemerintah No II/7.
Pemberontakan ini berakhir pada 1950 setelah Kartosuwiryo dibekuk oleh Letnan Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.
Baca Juga: Disebabkan Ketidakpuasan Terhadap Pancasila Inilah Tujuan Pemberontakan DI/TII di Indonesia
Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah terjadi sekitar tahun 1949-1950, dipimpin oleh Amir Fatah.
Alasan pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah punya alasan yang hampir sama dengan di Jawa Barat.
Amir Fatah dan masyarakat lainnya melakukan pemberontakan karena merasa tidak puas dengan perjanjian Renville.
Sebab, perjanjian ini berdampak pada terjadinya persengketaan di wilayah Pekalongan, Jawa Tengah.
Alhasil, Amir Fatah memutuskan bergabung ke dalam NII pada 23 Agustus 1949.
Setelah itu, Amir Fatah langsung menyerang TNI dan beberapa desa, seperti Desa Rokeh Djati dan Pagerbarang.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah baru berakhir pada 22 Desember 1950, setelah para pelaku, termasuk Amir Fatah, berhasil ditangkap.
Sulawesi Selatan
Selanjutnya, pemberontakan DI/TII terjadi di Sulawesi Selatan pada 1950 dan dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
Kahar Muzakkar adalah pemimpin dari Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang pemerintah dengan Kahar Muzakkar yang berkaitan dengan reorganisasi APRIS/TNI.
Sebagai pemimpin KGSS, Muzakkar menyarankan seluruh anggotanya mendaftar ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Tapi pada akhirnya banyak dari mereka yang ditolak menjadi anggota APRIS karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Kahar Muzakkar yang merasa kecewa dengan keputusan APRIS mulai melancarkan aksi pemberontakan.
Aksi pertama terjadi pada 1950-1952, sedangkan yang kedua terjadi pada 1953-1965.
Berjalan selama kurang lebih 15 tahun, pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan baru berakhir setelah Kahar Muzakkar ditembak mati.
Kalimantan Selatan
Masih pada 1950, pemberontakan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan dan dipimpin Ibnu Hadjar.
Penyebab pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan adalah rasa kecewa Ibnu Hadjar terhadap reorganisasi TNI, salah satunya ALRIS Divisi IV, kelompok tempat ia bertugas.
Sebab, reorganisasi ini membuat beberapa anggota ALRIS Divisi IV diberhentikan karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Dari sinilah kekecewaan Ibnu Hadjar bermula yang akhirnya membentuk pasukan gerilya sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas.
Dia melakukan serangan pertama ke kesatuan tentara di Kalimantan Selatan pada Maret 1950.
Ibnu Hadjar berhasil mengumpulkan massa sebanyak 60 orang dan melakukan serangan pertama ke kesatuan tentara.
Setelah melakukan serangan ini, jumlah pasukan Ibnu Hadjar justru bertambah banyak, mencapai 250 orang.
Ibnu Hadjar pun kembali melakukan serangan pada Oktober 1950.
Di tengah peristiwa ini, Ibnu Hadjar sempat beberapa kali menyerahkan diri, tetapi pada akhirnya membelot.
Barulah pada 1963, Ibnu Hadjar menyerahkan diri secara penuh setelah mendapat perjanjian pengampunan.
Lalu, pada 1965, ia dibawa ke Jakarta untuk mengikuti proses pengadilan di Mahkamah Militer.
Berdasarkan keputusan pengadilan pada 11 Maret 1965, Ibnu Hadjar resmi dijatuhi hukuman mati.
Dia meninggal dunia setelah dieksekusi pada 22 Maret 1965.
Aceh
Pada 20 September 1953, pemberontakan DI/TII terjadi di Aceh dan dipimpin oleh Daud Beureueh.
Daud Beureueh merupakan pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh.
Pemberontakan yang terjadi di Aceh sendiri berawal dari adanya pernyataan proklamasi terkait berdirinya NII di bawah kuasa Kartosuwiryo.
Pada waktu itu, Provinsi Aceh memang masih melebur ke Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di Medan.
Keputusan peleburan ini sendiri dianggap tidak menghargai jasa baik yang sudah dilakukan masyarakat Aceh sewaktu berjuang mempertahankan kedaulatan NKRI pada masa revolusi.
Kekesalan Daud juga semakin memuncak karena Presiden Soekarno pernah berjanji bahwa Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia pada 1948.
Daud merasa seperti dibohongi oleh Presiden Soekarno sehingga ia memutuskan melakukan pemberontakan dan menyatakan diri bergabung dengan DI/TII yang dipelopori Kartosuwiryo.
Meskipun berjalan cukup pelik, pemberontakan DI/TII di Aceh mampu diselesaikan dengan cara musyawarah pada 1962.
Begitulah,munculnya gerakan DI/TII Kartosuwiryo disebabkan oleh peristiwa penting Perjanjian Renville. Semoga bermanfaat.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News