Kartosoewirjo Di Jawa Barat, Sosok Ini Pimpin Pemberontakan DI/TII DI Jawa Tengah

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Pemberontakan DI/TII tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di Jawa Barat, gerakan serupa juga terjadi, dipimpin oleh Amir Fatah, mantan pimpinan Hizbullah.
Pemberontakan DI/TII tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di Jawa Barat, gerakan serupa juga terjadi, dipimpin oleh Amir Fatah, mantan pimpinan Hizbullah.

Pemberontakan DI/TII tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di Jawa Barat, gerakan serupa juga terjadi, dipimpin oleh Amir Fatah, mantan pimpinan Hizbullah.

Intisari-Online.com -Ternyata pemberontakan DI/TII tak hanya terjadi di Jawa Barat.

Aksi serupa juga terjadi di Jawa Tengah, yang memimpin adalah Amir Fatah Wijaya Kusumah atau dikenal sebagai Amir Fatah.

Pada zaman pergerakan, Amir Fatah bukan sosok sembarangan.

Pria kelahiran Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, itu adalah pimpinan Hizbullah Fisabilillah Besuki, Jawa Timur.

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah terjadi antara tahun 1949 sampai 1950 yang dilatarbelakangi dengan adanya penandatanganan Perjanian Renville.

Masyarakat Jawa Tengah, khususnya Amir Fatah dan pasukannya, merasa banyak dirugikan dari perjanjian tersebut.

Salah satunya terjadi persengketaan di wilayah Pekalongan.

Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Tengah diawali dengan adanya perubahan situasi politik di daerah Tegal-Brebes akibat penandatanganan Perjanjian Renville.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan satu pasal yang berisi bahwa semua kekuatan pasukan RI yang berada di daerah pendudukan Belanda harus ditarik dan ditempatkan di daerah RI.

Wilayah karesidenan Pekalongan termasuk daerah pendudukan Belanda.

Sehingga pasukan RI harus meninggalkan dan mengosongkan daerah tersebut.

Namun, meskipun demikian, rupanya tidak semua pasukan meninggalkan daerah mereka, seperti di Brebes dan Tegal.

Para pejuang di dua wilayah tersebut masih tetap bertahan dan menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Mereka melakukan operasi militer dengan membentuk Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) dan Gerilya Republik Indonesia (GRI).

Terbentuknya dua gerakan ini memicu timbulnya gerakan-gerakan lain yang menghasilkan pemberontakan di Jawa Tengah.

Sebelum adanya pemberontakan DI/TII di bawah kepemimpinan Amir Fatah, di Jawa Tengah sudah lebih dulu pernah muncul gerakan yang serupa dipimpin oleh Abas Abdullah.

Pasukan yang dipimpin Abas ini bernama Pasukan Hizbullah, di mana saat itu mereka memutuskan untuk pergi ke wilayah sengketa Indonesia-Belanda, yaitu Brebes.

Sampai di sana, pasukan ini membentuk pasukan baru bernama Mujahidin yang disebut sebagai Majelis Islam (MI).

Bukan hanya pasukan Hizbullah, Amir Fatah juga saat itu tengah mendatangi Brebes.

Keinginannya bergabung dalam pemberontakan ini adalah karena ia merasa memiliki cara pandang dan ideologi yang sama, khususnya dalam membentuk Negara Islam Indonesia.

Akhirnya pada 23 Agustus 1949, Amir bersama teman-temannya memutuskan bergabung dengan NII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.

Saat itu, basis kekuatan Kartosoewirjo berada di Jawa Barat.

Sejak saat itu, Amir Fatah beserta kelompoknya melakukan penyerangan terhadap TNI dan beberapa desa, seperti Desa Rokeh Djati dan Pagerbarang.

Demi melemahkan kekuatan para tentara Amir Fatah serta penyerangan mereka, TNI membentuk Gerakan Banteng Nasional (GBN).

GBN adalah komando penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah.

Para pemimpin dari GBN sendiri adalah Letnan Kolonel Sarbini, Letnan Kolonel Bachrum, dan Letnan Kolonel Ahmad Yani.

Unsur penting yang ada di dalem GBN adalah Banteng Raiders, sebuah pasukan elit di bawah kepemimpinan Ahmad Yani untuk memburu gerilyawan DI/TII.

Selama proses pembekukan, pasukan Mujahidin serta Hizbullah sempat berhasil meloloskan diri dari tangkapan TNI.

Sampai akhirnya pada 22 Desember 1950, pasukan-pasukan ini berhasil ditangkap saat berada di Desa Cisayong, Tasikmalaya.

Amir Fatah yang juga ikut tertangkap dipenjara selama dua tahun.

Artikel Terkait