Harmoko menjadi salah satu sosok penting yang turut menyarankan Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Intisari-Online.com -Sejumlah sosok penting punya peran penting dalam mendesak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Salah satunya adalah Harmoko yang ketika Mei 1998 adalah Pimpinan MPR/DPR RI.
Apa peran Harmoko dalam lengsernya Soeharto dan kursi presiden setelah 32 tahun berkuasa?
Harmoko sendiri dikenal sebagai sosok yang begitu dekat Soeharto.
Sebelum jadi Pimpinan MPR/DPR, Harmoko 14 tahun menjadi Menteri Penerangan di zaman Orde Baru.
Tapi karena situasi dan kondisi saat yang itu sedang sangat tidak kondusif, pria asal Solo, Jawa Tengah, itu pun mendesak Pak Harto untuk segera lengser.
18 Mei 1998, ribuan mahasiswa melakukan unjuk rasa di Gedung DPR/MPR.
Bisa dibilang, demonstrasi yang terjadi saat itu jauh lebih besar dibanding demonstrasi di bulan-bulan sebelumnya di tahun itu.
Mereka, para mahasisw itu, merangsekmasuk dan menduduki gedung DPR/MPR.
Aksi yang dilakukan sejak pagi itu dilakukan oleh mahasiswa untuk meminta Presiden Soeharto segera mundur dari jabatannya Para mahasiswa.
Mereka jugamembawa spanduk panjang yang berisi tuntutan agar Soeharto turun dari kursi presiden.
Sempat terjadi ketegangan antara mahasiswa dengan sekelompok orang yang justru mendukung Presiden Soeharto dan menolak Sidang Istimewa MPR.
Namun ketegangan itu dapat diredakan setelah Komandan Kodim (Dandim) Jakarta Pusat Letkol Inf S Widodo menengahi kedua kelompok tersebut.
Sekitar pukul 11.30 WIB mahasiswa berhasil masuk ke dalam gedung DPR.
Mahasiswa tersebut berasal dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).
FKSMJ diwakili oleh 50 orang yang berasal dari berbagai kampus.
Mereka menuntut segera dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk melengserkan Soeharto.
Keberhasilan itu membuat kelompok mahasiswa lainnya juga ikut bernegosiasi agar bisa masuk ke dalam gedung DPR.
Hasilnya, sejumlah mahasiswa diperbolehkan masuk pada 13.00 WIB.
Pada hari yang sama, perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin oleh rektor Soleh Salahuddin datang di gedung DPR.
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk menyampaikan tuntutan reformasi di segala bidang.
Selain mahasiswa, banyak tokoh dari berbagai lembaga ikut menyuarakan tuntutan reformasi dan meminta Soeharto mundur.
Saat itu, pimpinan MPR/DPR adalah Harmoko.
Melihat situasi yang tidak kondusif itu, diameminta Soeharto segera mengundurkan dalam konferensi pers.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko dikutip dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998.
“Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional,” lanjutnya.
Saat Harmoko menyatakan hal itu, ia didampingi oleh seluruh wakil ketua DPR, yakni Ismail Hasan Materum, Syarwan Hamid, Badul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pernyataan Harmoko itu pun cukup mengejutkan berbagai pihak, mengingat posisi dan latar belakangnya sebagai salah satu orang dekat Soeharto.
Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI menganggap pernyataan itu hanyalah pendapat pribadi.
Selain anjuran Harmoko, sejumlah menteri juga menolak tergabung dalam Komite Reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto.
Tak main-main, ada 14 menteri yang menolak.
Kondisi itu membuat Soeharto seperti ditinggal oleh orang-orang kepercayannya.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998 pagi, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada BJ Habibie.