14 menteri bidang Ekuin menolak terlibat dalam Komite Reformasi, Soeharto pun semakin yakin mundur dari jabatan presiden. Era reformasi dimulai.
Intisari-Online.com - Adabeberapa alasan yang membuat Soeharto mantap menyerahkan kekuasannya kepada BJ Habibie.
Salah satunya adalah karena Pria Kemusuk itu sudah ditinggalkan oleh 14 menteri di bidang Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri).
Di tengah kondisi krisis moneter yang begitu sulit, peran menteri-menteri Ekuin itu tentu saja signifikan.
Tapi bagaimana lagi, mereka sudah kadung memutuskan untuk tidak "terlibat" lagi dalam proyek Soeharto yang dikenal sebagai Komite Reformasi.
Siapa saja menteri-menteri itu?
19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat dan ulama.
Mereka yang hadir adalah Gus Dur mewakili NU, Nurcholis Madjid, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, dan Sumarsono dari Muhammadiyah.
Dari pertemuan itu, Soeharto memutuskan untuk melakukan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi.
Tapi Gus Dur dan Cak Nur memutuskan untuk tidak terlibat dalam komite tersebut yang menganggap bahwa itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Pada sore harinya,Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Ginandjar Kartasasmita menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi terkait ide Komite Reformasi.
Mereka adalahEmil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda.
Bagi mereka, keputusan Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi hanya mengulur-ulur waktu.
Keesokan harinya, atau pada 20 Mei 1998, sebanyak 14 menteri bidang Ekuin sepakat tidak bersedia mendapat peran dalam Komite Reformasi atau kabinet reformasi hasil reshuffle.
Penolakan itu disampaikan melalui sepucuk surat yang disampaikan oleh Kolonel Sumardjono pada malam harinya.
Surat itu dikenal sebagai Deklarasi Bappenas.
Sesaat setelah menerima surat itu, Soeharto langsung masuk ke kamar dan membacanya.
Ada 14 menteri yang menandatangani surat tersebut.
Mereka adalahAkbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Di momen itulah Soeharto merasa telah ditinggal oleh orang-orangnya, oleh para menterinya.
Dan di momen itulah dia semakin yamin untuk mundur dari jabatan presiden yang sudah dia pegang sekitar tiga dasawarsa lamanya.
Tak lama kemudian, Soeharti memanggil Habibie untuk memberitahukan soal kemungkinan dia mundur.
Habibie diminta untuk siap jika kekuasaan diserahkan kepadanya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana pada malam itu, mengungkapkan jika Soeharto terlihat gugup dan bimbang.
"Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan presiden," ujarnya.
Di hari yang sama pada pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Habibie.
Sekira 20 menit kemudian, Yusril Ihzamahendra bertemu dengan Amien Rais.
Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan rencana Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned" (orang tua itu kemungkinan besar mundur).
Pada 21 Mei 1998 dini hari, pukul 01.30 WIB, Amien Rais bersama sejumlah tokoh reformasi menggelar jumpa pers.
Dalam jumpa pers itu, Amien mengatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru."