Intisari-online.com -Pada bulan Desember 1987, Presiden Soeharto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-3 di Manila, Filipina.
KTT ini merupakan ajang penting bagi Indonesia untuk meningkatkan kredibilitas dan kerjasama di kawasan Asia Tenggara.
Namun, kunjungan Soeharto ke Filipina tidak berjalan mulus.
Dia menjadi sasaran rencana pembunuhan oleh kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Presiden Filipina Corazon Aquino.
Kelompok pemberontak tersebut dipimpin oleh Kolonel Gregorio "Gringo" Honasan, seorang mantan perwira militer yang tidak puas dengan pemerintahan Aquino.
Honasan menuduh Aquino sebagai boneka Amerika Serikat dan tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, korupsi, dan komunisme di Filipina.
Honasan juga menganggap KTT ASEAN sebagai acara formalitas belaka yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat Filipina.
Honasan dan pengikutnya berencana untuk melakukan serangan terhadap gedung Philippines International Convention Center (PICC), tempat berlangsungnya KTT ASEAN.
Mereka ingin mencelakai atau membunuh para pemimpin negara yang hadir, terutama Soeharto, yang dianggap sebagai tokoh senior dan berpengaruh di ASEAN.
Dengan demikian, mereka berharap dapat memicu krisis politik dan mempercepat kudeta terhadap Aquino.
Namun, rencana Honasan berhasil digagalkan oleh aparat keamanan Filipina dan Indonesia.
Baca Juga: Skandal Korupsi VOC, di Balik Peristiwa Runtuhnya Perusahaan Dagang Terkaya di Dunia
Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani telah menyiapkan tim pengamanan khusus untuk melindungi Soeharto.
Tim ini terdiri dari Satuan Detasemen 81 Anti Teror Kopassus, Satuan Tugas Armada Laut (dengan kapal perang dan kapal pendarat tank), Satuan Tugas Udara (dengan pesawat Boeing 707, C-130 Hercules, komunikasi satelit beserta unsur-unsur pendukungnya).
Selain itu, Moerdani juga menyiagakan empat unit pengebom tempur A-4 Skyhawk TNI AU di Pangkalan Udara Sam Ratulangi, Manado.
Tim pengamanan Indonesia bekerja sama dengan pasukan keamanan Filipina untuk mengawasi setiap gerak-gerik Honasan dan anak buahnya.
Mereka juga melakukan pengintaian dan penyamaran di sekitar lokasi KTT ASEAN.
Ketika mendeteksi adanya ancaman serius, mereka segera mengambil tindakan preventif dan ofensif untuk men neutralisir pemberontak.
Berkat kerjasama yang solid dan profesional antara Indonesia dan Filipina, KTT ASEAN dapat berlangsung dengan aman dan lancar.
Soeharto pun berhasil selamat dari bahaya pembunuhan yang mengancamnya.
Dia dapat berpartisipasi secara aktif dalam KTT ASEAN dan menyampaikan pandangan-pandangannya tentang isu-isu strategis di kawasan.
Dia juga dapat mempererat hubungan bilateral dengan Aquino dan pemimpin negara lainnya.
Peristiwa KTT ASEAN di Manila ini menunjukkan betapa pentingnya kerjasama keamanan antara negara-negara anggota ASEAN untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.
Dengan demikian, peristiwa KTT ASEAN di Manila pada tahun 1987 merupakan salah satu momen bersejarah bagi Indonesia dan ASEAN.
Di tengah situasi yang penuh risiko dan tantangan, Presiden Soeharto berhasil menunjukkan komitmen dan kontribusinya bagi kerjasama regional.
Dia juga berhasil menghindari ancaman pembunuhan yang ditujukan kepadanya oleh kelompok pemberontak Filipina.
Peristiwa ini menggambarkan betapa eratnya hubungan antara Indonesia dan Filipina, serta antara negara-negara anggota ASEAN.
Peristiwa ini juga menginspirasi kita untuk terus menjaga solidaritas dan keamanan bersama di kawasan Asia Tenggara.