Intisari-online.com - Dalam sebuah laporan dikatkan bahwa Soeharto merupakan salah satu pemimpin yang paling korup di dunia.
Ia diduga telah menyelewengkan uang negara hingga puluhan miliar dolar AS selama 32 tahun berkuasa, dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah dengan mendirikan dan menguasai tujuh yayasan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Yayasan Dana Mandiri (YDM) adalah salah satu yayasan yang didirikan oleh Soeharto pada 1993 dengan tujuan untuk membantu pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, di balik fungsinya yang mulia, yayasan ini ternyata menjadi alat bagi Soeharto untuk mengalirkan uang negara ke kantong pribadi dan keluarganya, serta untuk membiayai kepentingan politiknya.
Salah satu contoh kasus korupsi yang melibatkan YDM adalah pengalihan dana reboisasi Departemen Kehutanan dan bantuan presiden senilai Rp 400 miliar antara tahun 1996 dan 1998.
Uang tersebut seharusnya digunakan untuk program penanaman pohon dan pelestarian lingkungan.
Namun malah diserahkan kepada YDM oleh Haryono Suyono, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), serta menjadi wakil ketua YDM.
Setelah uang tersebut masuk ke rekening YDM, ternyata tidak digunakan untuk kegiatan sosial seperti yang diklaim, melainkan di-depositokan ke dua bank milik Bambang Trihatmodjo, putra kedua Soeharto, yaitu Bank Alfa dan Bank Andromeda pada 1996-1997.
Bambang sendiri merupakan bendahara YDM yang juga memiliki saham di beberapa perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan, sahabat karib Soeharto.
Lalu, apa hubungannya antara korupsi YDM dengan boikot terhadap Megawati Soekarnoputri?
Baca Juga: Sosok Soerjadi Mantan Ketua PDI yang Merekrut Megawati Soekarnoputri, Berawal dari Pizza Hut
Jawabannya adalah karena uang hasil korupsi tersebut juga digunakan oleh Soeharto untuk membiayai Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan pada 22 Juni 1996.
KLB ini merupakan upaya Soeharto untuk menggulingkan Megawati dari posisi ketua umum PDI dan menggantinya dengan Soerjadi, yang lebih loyal kepada rezim Orde Baru.
Soeharto merasa terancam dengan popularitas Megawati sebagai putri dari Presiden Sukarno, pendiri bangsa Indonesia yang dicopot oleh Soeharto pada 1966.
Megawati juga dinilai sebagai sosok oposisi yang berani mengkritik kebijakan-kebijakan Soeharto yang tidak pro-rakyat.
Oleh karena itu, Soeharto berusaha untuk melemahkan PDI sebagai partai politik terbesar ketiga setelah Golkar dan PPP.
Untuk melancarkan rencana kudeta politiknya, Soeharto memerintahkan aparat keamanan dan intelijen untuk mendukung kubu Soerjadi dalam KLB PDI di Medan.
Selain itu, ia juga memberikan dana sebesar Rp 5 miliar dari YDM kepada Soerjadi untuk membiayai acara tersebut.
Dengan bantuan uang dan kekuasaan, Soerjadi berhasil mengambil alih kepemimpinan PDI dari Megawati secara tidak sah.
Namun, tindakan Soeharto ini menimbulkan kemarahan dari para pendukung Megawati dan rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan politik.
Mereka menolak hasil KLB PDI di Medan dan tetap mengakui Megawati sebagai ketua umum PDI yang sah.
Mereka juga melakukan aksi-aksi protes dan unjuk rasa di berbagai daerah untuk menuntut pengembalian hak-hak politik PDI.
Baca Juga: Kisah Megawati Soekarnoputri Nyaris jadi Korban dalam Peristiwa Pengboman Cikini
Salah satu aksi protes terbesar terjadi pada 27 Juli 1996 di Jakarta, ketika massa pendukung Megawati mengepung kantor pusat DPP PDI di Jalan Diponegoro yang dikuasai oleh kubu Soerjadi.
Aksi ini berujung pada bentrokan antara massa dengan aparat keamanan yang dibantu oleh preman-preman bayaran.
Kantor DPP PDI kemudian dibakar dan dirusak oleh massa yang marah.
Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Kerusuhan 27 Juli atau Kudatuli.
Kerusuhan ini menandai awal dari gerakan reformasi yang akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998.
Megawati sendiri kemudian membentuk partai baru bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi salah satu partai pemenang dalam Pemilu 1999.
Ia juga berhasil menjadi Presiden RI kelima pada tahun 2001 setelah menggantikan Abdurrahman Wahid yang impeachmen.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus korupsi yayasan PDI oleh Soeharto bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak demokrasi dan hak-hak politik rakyat Indonesia.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga Soeharto.
Serta untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara tidak demokratis.
Kasus ini menjadi salah satu contoh betapa bahayanya korupsi bagi bangsa dan negara.