Bahurekso mengirimkan utusan kepada Dipati Ukur untuk menanyakan, apakah ia akan menyerah atau tidak.
Dipati Ukur menjawab bahwa ia telah bertekad untuk melawan.
Terjadilah perang antara pasukan Dipati Ukur melawan pasukan Bahurekso.
Karena jumlah pasukan Bahurekso lebih banyak, pasukan Dipati Ukur terdesak.
Dipati Ukur dan pengikutnya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Gunung Lumbung.
Di sana, mereka membangun perkampungan dan tinggal di sana bersama sekitar 1000 orang pengikut beserta keluarganya.
Di sana mereka bercocok tanam, membuka sawah dan tegalan.
Setahun kemudian Dipati Ukur mendapat serangan lagi dari pasukan Mataram, dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Pasukan Dipati Ukur melawan dan berhasil meloloskan diri.
Berdasarkan catatan Belanda, Sekitar 100.000 pasukan dikerahkan untuk meratakan tanah Ukur dan Sumedang.
Banyak dari penduduk Ukur ini yang mengungsi ke Banten dan Batavia.
Pasukan Dipati Ukur yang bertahan di Gunung Lumbung berhasil menahan serangan pertama dari pasukan Mataram.
Pada serangan kedua, Tumenggung Narapaksa bertemu dengan seseorang yang menguasai wilayah Gunung Lumbung.
Selain itu ia dibantu oleh pasukan yang berasal dari tanah Pasundan.
Di dalam Naskah Leiden Oriental yang ditulis oleh R.A. Sukamandara disebutkan bahwa Dipati Ukur ditangkap oleh pasukan yang dipimpin Bagus Sutapura, Adipati Kawasen.
Serangan ini berhasil mematahkan pertahanan Dipati Ukur.
Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung pada tahun 1632 dan dihukum mati di Mataram.
Begitulah kisah pembangkangan Dipati Ukur kepada Mataram Islam.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR