Letak ibukota Majapahit sebagai pusat pemerintahan ada di pedalaman. Daerah-daerah kekuasaannya yang terpencar diperintah oleh para Gubernur atau Adipati, yang bertindak sebagai wakil raja di daerahnya masing-masing.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Adipati itu setiap kali harus datang menghadap ke Ibukota, baik dalam upacara-upacara resmi yang secara berkala diadakan, maupun pada waktu mengantarkan upeti-upeti atau persembahan-persembahan.
Hadir atau tidaknya para Adipati dalam acara-acara tersebut menjadi barometer kesetiaan (daerah yang dipimpin) mereka.
Untuk mencapai Ibukota tentunya akan memakan waktu berhari-hari, baik perjalanan itu dilakukan melalui darat maupun melalui sungai-sungai. Dengan demikian maka upeti-upeti ataupun persembahan-persembahan yang dibawa tidaklah mungkin sebanyak yang diharapkan; apalagi sebagai suatu Negeri yang agraris, upeti-upeti itu tentunya “in natura”.
Gajah Mada sebagai pelaksana tampuk pemerintahan menyadari hal tersebut. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharap-harapkan baik di pihak para Adipati maupun di pihak Pemerintah Pusat, dilakukanlah perjalanan turba itu.
Upeti-upeti atau persembahan-persembahan yang biasanya di antara ke Ibukota, dapat dipungut di sepanjang perjalanan; inilah sebabnya kelompok Gajah Mada membawa kendaraan dengan jumlah paling besar, guna memuat semua upeti-upeti dan persembahan-persembahan tersebut.
Pejabat-pejabat kerajaan yang lain dapat melakukan inspeksi menurut bidangnya masing-masing. Pejabat-pejabat keagamaan melakukan kontrol terhadap wakaf=wakaf keagamaan yang bertugas menurus bangunan-bangunan suci kerajaan.
Begitu pula para anggota-anggota keluarga kerajaan mempunyai kesempatan untuk melakukan ziarah ke candi-candi tempat pemakaman para nenek moyang kerajaan.
Akan tetapi lebih penting dari itu ialah: Anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat pemerintahan dapat secara langsung melihat kehidupan rakyat jelata di desa-desa, rakyat pun dengan demikian merasa memperoleh berkah karena sang Raja yang dicintainya sudi berkunjung ke tempat mereka.
Dengan kata-kata singkat, perjalanan turba ini sekaligus telah menyelesaikan beberapa pekerjaan dan tugas-tugas penting.
Setibanya di tempat tujuan terakhir, rombongan disambut dengan segala kebesaran, upeti-upeti diserahkan, persembahan-persembahan dihaturkan, dan pesta pun diselenggarakan guna menghormat sang raja.
Sesudahnya rombongan “dibubarkan” untuk kemudian berkumpul kembali pada waktu yang telah ditetapkan guna kembali ke Ibukota.
Dan dalam perjalanan kembali ke Ibukota, yang mengambil rute lain daripada ketika berangkat, terulanglah kembali apa-apa yagn pernah dialami ketika berangkat.
Hiruk pikuk ketika berkumpul untuk berangkat, tugas-tugas yang harus dijalankan di sepanjang jalan, gerak iring-iringan yang lambat, kepenatan dan kelesuan yang diseleng dengan macam-macam intermeso, macam-macam ekses yang timbul selama perjalanan, hingga akhirnya tiba kembali di Ibukota dengan selamat.
Bagi mereka yang menyukai perjalanan ini tentunya mengharap lekasnya datang masa perjalanan berikutnya. Sedangkan mereka yang tidak menyukainya, mungkin dalam hati bertanya: Kapan semuanya ini akan berakhir?
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR