Islam masuk ke Ponogoro dibawa oleh seorang tokoh berdarah Majapahit bernama Bathara Katong.
Intisari-Online.com -Tidak ada bukti yang pasti tentang awal masuknya Islam di Ponorogo.
Tapi menurut beberapa kalangan, Islam masuk ke Kota Reog itu sekitar abad ke-15.
Adalah Bathara Katong, sosok yang dianggap punya jasa besar terhadap penyebaran Islam di wilayah yang dulu dikenal sebagai Wengker itu.
Siapa Bathara Katong? Benarkah dia punya darah biru Majapahit?
Bathara Katong disebut-sebut sebagai pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan adipati pertama di Ponorogo.
Pria yang bernama asli Lembu Kanigoro itumerupakan utusan Kesultanan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.
Dia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam.
Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong di masa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali.
Konon, Bathara Katong lahir pada masa kejayaan kerajaan Majapahit yang mulai redup akibat serangan Kesultanan Demak yang didirikan oleh kakak tertuanya, Raden Patah.
Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya dari permaisuri resminya, yaitu Dyah Wiyat.
Raden Patah memeluk agama Islam dan berusaha mengislamkan ayahnya dengan bantuan Wali Songo.
Namun Prabu Brawijaya menolak untuk masuk Islam dan tetap mempertahankan agama Hindu-Buddha.
Salah satu cara Wali Songo untuk membujuk Prabu Brawijaya adalah dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi istrinya.
Putri Campa adalah putri dari Raja Campa yang merupakan kerajaan bawahan Majapahit di wilayah Indocina.
Perkawinan ini menghasilkan beberapa anak, salah satunya adalah Lembu Kanigoro atau Bathara Katong.
Perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa menimbulkan reaksi protes dari elit istana Majapahit yang tidak menyukai pengaruh Islam.
Salah satu punggawa Majapahit yang menentang perkawinan ini adalah Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu.
Ki Ageng Kutu menciptakan sebuah seni Barongan yang kemudian disebut Reog sebagai bentuk kritik terhadap Prabu Brawijaya yang ditundukkan oleh rayuan seorang perempuan asing.
Ki Ageng Kutu kemudian meninggalkan Majapahit dan pergi ke wilayah Wengker atau Ponorogo.
Di sana ia membangun basis kekuatan dan berusaha memperluas pengaruhnya dengan cara mengajak masyarakat setempat untuk mengikuti ajaran Hindu-Buddha dan menolak Islam.
Ki Ageng Kutu juga menciptakan kesenian Reog sebagai media propaganda dan hiburan bagi rakyatnya.
Keberadaan Ki Ageng Kutu di Ponorogo menjadi ancaman bagi kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak yang berusaha mengislamkan wilayah tersebut.
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, bersama muridnya Kiai Muslim atau Ki Ageng Mirah mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di sana.
Mereka menemukan bahwa Ki Ageng Kutu adalah penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yaitu Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Misi mereka adalah untuk menyebarkan Islam di Ponorogo dan mengalahkan Ki Ageng Kutu.
Sesampainya di Ponorogo alias Wengker, Bathara Katong bermukim diDusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan.
Ketika itu, masyarakat Ponorogo masih menganut Hindu, Buddha, animisme, dan dinasmisme.
Singkat cerita, terjadi pertempuran antara Bathara Katong danKi Ageng Kutu.
Keduanya sama-sama kuat, hingga kemudian Bathara Ketong kebingunan bagaimana cara mengalahkan lawannya itu.
Bathara Katong kemudian mendekati putri Ki Ageng Kutu, Niken Gandini, dan menjadikannya istri.
Melalui Niken Gandiri, Bathara Katong mengambil pusakapamungkas Ki Ageng Kutu.
Pertempuran kedua terjadi dan Ki Ageng Kutu menghilang di sebuah tempat yang dikenal sebagaiGunung Bacin.
Untuk mengambil hati masyarakat setempat, Bathara Katong kemudian bilang bahwa Ki Ageng Kutu Moksa dan akan terlahir kembali.
Selain itu, dia juga mengaku sebagai Bathara, manusia titisan dewa.
Ini dia lakukan, lagi-lagi untuk mengambil hati masyarakat Ponorogo.