Sejak Zaman Kerajaan Tarumanegara Isu Banjir Jakarta Sudah Menjadi Perhatian

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Isu banjir Jakarta ternyata sudah menjadi perhatian sejak zaman Kerajaan Tarumanegara. Prasasti Tugu terkait hal itu (Restu Gunawan/Intisari)
Isu banjir Jakarta ternyata sudah menjadi perhatian sejak zaman Kerajaan Tarumanegara. Prasasti Tugu terkait hal itu (Restu Gunawan/Intisari)

Ternyata, upaya menangkal banjir di Ibukota Jakarta sudah terekam sejak zaman Kerajaan Tarumanegara di abad ke-12. Tapi mengapa sampai sekarang, banjir masih saja menenggelamkan Jakarta? Kuncinya, jangan tempatkan sungai sebagai halaman belakang.

Penulis: Restu Gunawan, untuk Majalah Intisari edisi Februari 2008

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Simak petikan kabar di awal tahun 1918, ketika hujan turun terus-menerus sejak Januari-Februari, membuat Batavia terendam banjir. Awal Februari, kampung di Weltevreden terendam selama beberapa hari, sampai-sampai penduduknya mengungsi.

Rumah-rumah di Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang ikut terendam. Konon penyebabnya selokan yang terlalu kecil, sehingga air tak bisa mengalir.

Di sepanjang Jl. Molenvliet Barat dan Timur (kini Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk) rumah-rumah dibuka untuk menampung pengungsi. Gemeente (kotapraja) pun membuka tempat-tempat pengungsian untuk orang kampung.

Baca Juga: Prasasti Ciaruteun dan Jejak Kaki Sang Purnawarman Pembawa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara

Jumlah pengungsi mencapai ribuan orang. Mereka mendapat sumbangan dari Thaliafonds berupa uang f300, dari Tuan Tjie Eng Hok (beberapa puluh karung beras), serta tiga peti ikan asin dari Tuan Lauw Soen Bak (Sin Po, 20 Februari 1918).

Banjir itu mendorong Gemeenteraad (kini DPRD, red) menggelar rapat pada 19 Februari 1918. Rapat yang dipimpin burgemeester (walikota) Bisschop itu dihadiri 11 lid (perwakilan) Eropa dan 3 lid Bumiputera.

Lid Tionghoa dan Arab absen. Dalam rapat itu walikota menyatakan telah menyediakan dana memadai untuk para korban banjir.

Rapat juga memutuskan, pemerintah menyediakan tempat pengungsian di bangsal Royal Standard Biograph di Pasar Baru, gedung Sekolah Dokter Jawa di Salemba, dan los-los di kota ilir dan Tanah Abang. Untuk menjaga segala kemungkinan, pemerintah meminta kampung-kampung dikosongkan, karena air masih mungkin meninggi, sehingga berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan.

Sejak Tarumanegara

Berdasarkan temuan arkeologis, banjir di Jakarta dapat ditelusuri lewat tulisan pada batu tulis Tugu yang ditemukan di dekat Tanjung Priok. Batu tulis itu memuat berita tentang penggalian sebuah kali yang permai dan berair jernih.

Penggalian itu diadakan dalam waktu 21 hari dan dilakukan oleh para brahmana, yang diberi hadiah 1.000 ekor sapi. Pekerjaan itu dilakukan pada tahun ke-22 Raja Purnawarman bertahta.

Tujuan penggalian disebutkan untuk mengairi sawah dan menahan banjir (Abdurrahman Surjomihardjo dalam Perkembangan Kota Jakarta, 1973). Jika mengacu angka tahun 1133 pada batu tulis Tugu, berarti masalah banjir sudah jadi perhatian sejak zaman Kerajaan Tarumanegara.

Sedangkan peta "Jayakarta" yang dikeluarkan Dr. JW Ijzerman (1917) menunjukkan upaya VOC mengurangi banjir dengan meluruskan Sungai Ciliwung. Selain untuk melancarkan transportasi, juga memperlancar aliran sungai ke Batavia.

Setelah kemenangan Jan Pieterszoon Coen atas Jayakarta, dan mengubah namanya jadi Batavia, kedudukan VOC semakin mantap. Untuk memperlancar transportasi dari dan ke Batavia dibangunlah kanal-kanal.

Setiap pembangunan kanal selalu dibarengi dengan pembangunan pintu air. Dengan pintu-pintu air itu, debit air sungai yang melewati kota dapat diatur.

Kanal Molenvliet (1648) misalnya, yang menghubungkan kota dengan kawasan selatan, dibangun atas permintaan Poa Bingam. Saluran ini diperuntukkan bagi pengangkutan hasil hutan di bagian selatan.

Kanal yang semula bernama Bingamsgracht itu diubah menjadi Molenvliet pada 1661. Molenvliet dimulai dari daerah Glodok terus ke selatan, diapit oleh Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk.

Tepat di tenggara Benteng Rijswijk (Harmoni) saluran berbelok ke timur, diapit Jl. Ir. Juanda dan Jl. Veteran, dan membelok ke selatan memasuki kompleks Masjid Istiqlal. Di kompleks masjid, terdapat jalur Sungai Ciliwung yang berbelok ke timur. Sedangkan tepat di sebelah timur terdapat pintu air Willemsluis.

Pintu ini untuk mengatur debit air yang akan dialirkan ke Molenvliet. Aliran Ciliwung berbelok ke timur ke arah Pasar Baru, sejajar dengan Jl. Pos dan Jl. Dr. Sutomo, lalu berbelok ke utara sejajar dengan Jl. Gunung Sahari yang merupakan saluran pengalihan ke arah timur pada 1699, kemudian bertemu dengan Ciliwung melalui Jembatan Merah ke arah barat pada Jin. Raya Mangga Besar.

Namun pengendapan lumpur di kanal-kanal semakin cepat sejak meletusnya Gunung Salak (1699), sehingga debit air Ciliwung yang masuk ke kota semakin kecil. Pada 1732 Gubernur Diederik Durven memerintahkah pembuatan saluran baru Mookervart untuk menambah debit air ke kota.

Penggalian ini mengakibatkan timbulnya wabah penyakit, tewasnya para kuli, dan bencana banjir bagi Batavia. Akibat erosi, terjadilah endapan di muara-muara dan paya-paya jadi penuh air sehingga menjadi sarang nyamuk.

Melihat kondisi yang tidak sehat, kota pun dipindahkan ke selatan, yaitu ke Weltevreden (kawasan Monas sekarang) pada 1830-an. Dari sinilah kota mengalami perkembangan.

Kota sudah pindah ke Monas, tapi banjir terus mengikuti. Pada awal 1893, kawasan Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran tergenang air.

Banjir juga mengakibatkan Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran, Kebon Jeruk, Tangki Belakang, Tanah Sereal, Tanah Nyonya, Kampung Kepal, Tanah Tinggi, Kemayoran Sawah, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam 1 meter. (Fitri R. Ghozally [peny]: Dari Batavia Menuju Jakarta, 2004).

Setelah itu, Batavia secara berturut-turut dilanda banjir. Pada 19 Februari 1909, menurut koresponden De Locomotief, hujan sangat deras sehingga kanal-kanal tidak mampu menampung air.

Sebagai kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menangani banjir, De Locomotief menurunkan berita "Batavia Onder Water", disingkat menjadi BOW (Burgerlijke Openbare Werken), sebuah kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk di dalamnya menangani banjir.

Setelah banjir, kampung-kampung bumiputera dalam waktu singkat akan kosong. Itu bisa berlangsung berhari-hari.

Tapi di perkampungan warga Eropa sebaliknya. Mereka masih bisa menikmati pesta kecil. Dari atas trem listrik yang melewati pemukiman, mereka bisa melihat rumah-rumah yang hanyut dan orang-orang berlarian menyelamatkan diri.

Alih fungsi lahan

Setelah kotapraja Batavia terbentuk pada 1905, masalah banjir masih menghantui, sehingga pada 1911 dimulailah penelitian secara menyeluruh terhadap sungai di Batavia, menyangkut sedimentasi dan pengaliran sungai, mulai dari Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Krukut, Cisadane, dan Grogol.

Pemerintah menunjuk Herman van Breen, insinyur lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), untuk merencanakan tata air di Batavia yang lebih baik.

Perencanaan tata air ini selain karena pembangunan kawasan Menteng, juga karena hampir selama dua abad, proses penggundulan di daerah Puncak terus berlangsung, akibat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan teh, sehingga menimbulkan ancaman banjir di Batavia. Hasil kerja van Breen itu berupa sebuah kanal penangkal banjir yang berada di luar kota.

Berdasarkan surat keputusan pemerintah kolonial tahun 1913, pembangunan pintu air Matraman (Manggarai) dimulai (1913-1919). Selain itu juga dibangun pintu air di Kampung Gusti dan Sunter. Pembangunan kanal yang fenomenal adalah kanal banjir dan Matraman sampai Karet.

Kanal banjir Matraman dimulai dari Ciliwung sampai Karet. Dari Karet diteruskan ke kanal Krokot yang sudah ada. Kanal banjir dari Ciliwung, Krokot, dan Cideng yang mengalir di antara kedua sungai ini dialihkan ke luar kota menuju laut lewat kanal Krukut.

Untuk memperlancar aliran, dilakukan penggalian saluran Cideng dan saluran pembuangan Tanah Abang. Yang masih menjadi perhatian van Breen yaitu daerah polder di sekitar Teluk Gong, Pluit, ke arah utara sampai laut.

Itu daerah yang dapat digunakan sebagai tempat parkir sementara (retention basin). Artinya, jika terjadi banjir, air akan masuk wilayah itu karena merupakan daerah rendah, dan dari situ air dipompa keluar secara mekanis.

Menurut peta hasil kerja van Breen selama hampir lima tahun, walaupun kanal banjir berhasil dibangun dan penataan air secara menyeluruh sudah dilakukan, Batavia tetap mengalami banjir secara periodik, di antaranya pada 1918 dan 1923. Bahkan pada periode 1930-1933, tiap tahun Batavia kebanjiran.

Siklus makin pendek

Setelah kemerdekaan, arus urbanisasi ke Jakarta kian meningkat. Penduduk Jakarta yang pada 1947 berjumlah 599.821 jiwa naik hampir 50% pada 1950.

Peningkatan jumlah penduduk ini tentu membutuhkan lahan untuk permukiman. Nah, meningkatnya lahan yang tertutup pembangunan ini jelas mengurangi daya serap air hujan yang jatuh di kawasan permukiman.

Periode 1945-1950-an, negara lebih sibuk mempertahankan kemerdekaan. Akibatnya, periode 1950-1965 Jakarta saban tahun kebanjiran. Atas dasar itu pemerintah membentuk tim penanggulangan banjir pada 1965 yang dinamakan Tim Komando Pencegahan Proyek Banjir (Kopro Banjir).

Pada 1970, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya atau Proyek Pengendalian Banjir Jaya.

Berdasarkan rencana induk 1965-1985, Kopro Banjir berhasil memulai pembangunan waduk-waduk di dalam kota, yang selesai di masa Orde Baru. Setelah 1970-an, Proyek Pencegahan Banjir Jaya mengadakan kerja sama dengan Nedeco (sebuah tim asistensi Indonesia-Belanda).

Kedua pihak merekomendasi perlunya penelitian tentang karakteristik keadaan tata air Jakarta dan kemungkinan pembuatan saluran di luar banjir kanal dari Karet ke Kali Angke.

Toh proyek-proyek penanggulangan banjir sudah dibangun, banjir masih saja mampir. Pada 1990-2000 siklus banjir tidak semakin renggang. Setiap tahun daerah yang dilanda banjir makin luas, termasuk daerah selatan yang sebelum 1977 bebas banjir.

Jika dulu meluapnya Ciliwung paling dikhawatirkan, kini semua kali menyumbang banjir, mulai Kali Krukut, Grogol, Sekretaris, dan lainnya.

Tengoklah, mungkin ada yang salah dengan pengelolaan tata air di Jakarta. Kita selalu disibukkan dengan pembangunan kanal, tapi hampir di setiap kanal terjadi sedimentasi akibat erosi dan buangan sampah.

Selain itu banyak pintu air yang tidak berfungsi maksimal. Untuk itu pembangunan manusia menjadi penting, terutama mengubah pola pikir warga yang semula menganggap sungai sebagai latar belakang, menjadi sungai sebagai halaman depan (water front).

Sebagai latar belakang, sungai diperlakukan sebagai tempat buang sampah, kotoran, sehingga airnya kotor dan terjadi sedimentasi. Pembangunan di bantaran sungai juga terus dilakukan, sehingga mengganggu aliran.

Dengan menempatkan sungai sebagai water front, perlakuan terhadap sungai diharapkan berubah. Dulu sebelum Gunung Salak meletus dan sedimentasinya belum banyak, sungai telah digunakan sebagai jalur pelayaran dengan air yang jernih.

Mungkinkah kali-kali di Jakarta direvitalisasi agar kehidupan di kota ini menjadi lebih beradab? Jangan tunggu Jakarta tenggelam dan peradabannya hancur, seperti yang terjadi pada 1770-an, saat Batavia jadi sarang pelbagai wabah penyakit. Bagaimana lagi, banjir Jakarta sudah jadi isu sejak zaman Kerajaan Tarumengara.

Baca Juga: Bagaimana Corak Agama yang Dianut di Kerjaan Tarumanegara dan Buktinya

Artikel Terkait