Saat pertama kali membangun kota Batavia, dia banyak mendatangkan orang Tionghoa dari Banten.
Semakin lama, jumlah itu semakin bertambah pesat.
Tak hanya itu, gedung-gedug yang dibangun kisaran abad ke-17 dan 18 juga banyak beraroma Cina.
Lantas, apakah itu menandakan orang-orang Belanda di Batavia—baik yang ada di tubuh VOC atau bukan—suka dengan keberadaan orang-orang Tionghoa?
Jawabannya mungkin bisa dilihat dari Tragedi Angke 1740.
Sebuah data kontemporer menyebutkan bahwa lebih dari 10 ribu nyawa orang-orang Tionghoa dibantai oleh VOC dengan begitu kejamnya.
Faktor ekonomi tetap menjadi alasan pelik pembantaian tersebut.
Syahdan, jumlah penduduk Tionghoa yang kala itu mencapai 80 ribu jiwa banyak yang menganggur akibat banyaknya pabrik gula di Batavia yang bangkrut.
Imbasnya, kriminalitas pun meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, VOC membuat peraturan untuk menekan jumlah orang Tionghoa di Batavia.
Caranya bermacam-macam.
Ada yang dikirim ke Sri Langka, ada yang dibuang di tengah laut.
Beberapa warga yang masih di Batavia mempersenjatai diri untuk melawan kesewenangan VOC dan menyerang kongsi dagang itu pada 8 Oktober 1740.
Nah, alasan penyerangan itulah yang kemudian dijadikan dalih pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC di bantaran Kali Angke atau dalam bahasa Mandari disebut Kali Merah.
Jadi, apakah isi surat JP Coen itu sebuah pujian?
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR