Banyak yang bertanya padanya melalui Facebook, maka dia pun menulis untuk mereka.
Sebagai seorang anak Achmad Yani, dia merasakan betul secara hati nurani, apalagi ketika ibunya selalu mengatakan, “Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?”
Amelia seperti tidak mendapatkan jawaban, maka dia mencari jawaban itu dengan menulis, dia pun mewawancarai AH Nasution, Sarwo Edhi Wibowo, Soemitro, dan lainnya, menanyakan seperti apa ayahnya sebetulnya, dan kenapa harus dibunuh.
Amelia pun mulai membuka buku agenda ayahnya, yang di situ tertulis, Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air.
Amelia merasa pesan itu penting sekali, pesan dari orangtuanya penting sekali untuk generasi muda.
Amelia menuturkan, saat menulis itu dia sambil bercucuran air mata, seperti ayahnya datang padanya dan membimbingnya untuk menulis, karena dia menulisnya pada malam hari, sekitar jam tiga pagi, jam saatu pagi, ketika sepi, dan tidak ada siapa-siapa.
Amelia menuturkan pula meskipun ketika itu dia belum sembuh dari trauma, dia juga bekerja.
Namun, kemudian, Amelia memutuskan pindah ke desa, di sebuah dusun, Dusun Bawuk, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 1988, tanpa listrik.
Tinggal di desa itulah dia menyembuhkan luka batinnya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dan dengki.
“Itu hilang. Di desa, itu hilang”
Lebih dari 20 tahun dia tinggal di desa itu, hampir seperempat abad Amelia tinggal di desa, dan dia menyekolahkan Dimas, anak tunggalnya, mulai SMA ke Australia.
Amelia tinggal sendirian di desa, bangun pagi, jam enam sudah di sawahnya, dia juga punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, pepaya, pisang.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR