Sembuhkan Trauma Saksikan Keganasan G30S/PKI, Amelia Yani Menepi 20 Tahun di Desa Kecil

K. Tatik Wardayati

Editor

Amelia Achmad Yani, putri pahlawan revolusi Achmad Yani, yang sempat menyepi hingga 20 tahun di dusun kecil.
Amelia Achmad Yani, putri pahlawan revolusi Achmad Yani, yang sempat menyepi hingga 20 tahun di dusun kecil.

Intisari-Online.com Gerakan 30 September atau G30S/PKI meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi keluarga korban.

Salah satu yang menjadi korban keganasan G30S/PKI adalah Jenderal Achmad Yani.

Salah seorang putrinya, Amelia Achmad Yani, diwawancarai oleh wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, yang ketika itu sedang mengenang peristiwa G30S/PKI di Sarajevo pada 3 Oktober 2017 waktu setempat.

Berikut ini petikan wawancara yang terjadi tersebut.

Meskipun belum tanggal 30, setiap kali memasuki bulan September, Amelia Achmad Yani selalu mengingat peristiwa yang tidak bisa dilupakannya itu, bak sebuah potret yang berjalan.

Tiba-tiba dia melihat ayahnya diseret, tiba-tiba mendengar suara tembakan yang menggelegar, begitu terus sampai tanggal 30 September.

Dan setiap tanggal 30 September, di mana pun Amelia berada, dia akan membuat tahlilan, yang waktunya disesuaikan dengan tanggalnya di Jakarta, termasuk jamnya.

Meski setiap tanggal 1 Oktober diperingati secara nasional Hari Kesaktian Pancasila, namun di tahun ini menjadi berbeda karena adanya pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI, yang telah 15 tahun lebih tidak pernah diputar lagi.

Ini membuat rakyat lupa bahwa pernah terjadi sebuah pengkhianatan terhadap negara.

Amelia menulis buku tentang ayahnya dan peristiwa G30S/PKI mulai tahun 1988 dan pada era media sosial, termasuk menulis di Facebook.

“Saya ingin generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, sehingga mereka tahu bahwa negara ini dibentuk dari sebuah revolusi, dari sebuah kebersamaan, dengan landasan Pancasila,” jawab Amelia ketika ditanya apa tujuan menulis buku itu.

Dia sempat berpikir anak muda banyak yang terkait dengan hal-hal negatif, ternyata banyak pemuda Indonesia, mahasiswa, yang ingin mengetahui sejarah bangsa sendiri.

Banyak yang bertanya padanya melalui Facebook, maka dia pun menulis untuk mereka.

Sebagai seorang anak Achmad Yani, dia merasakan betul secara hati nurani, apalagi ketika ibunya selalu mengatakan, “Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?”

Amelia seperti tidak mendapatkan jawaban, maka dia mencari jawaban itu dengan menulis, dia pun mewawancarai AH Nasution, Sarwo Edhi Wibowo, Soemitro, dan lainnya, menanyakan seperti apa ayahnya sebetulnya, dan kenapa harus dibunuh.

Amelia pun mulai membuka buku agenda ayahnya, yang di situ tertulis, Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air.

Amelia merasa pesan itu penting sekali, pesan dari orangtuanya penting sekali untuk generasi muda.

Amelia menuturkan, saat menulis itu dia sambil bercucuran air mata, seperti ayahnya datang padanya dan membimbingnya untuk menulis, karena dia menulisnya pada malam hari, sekitar jam tiga pagi, jam saatu pagi, ketika sepi, dan tidak ada siapa-siapa.

Amelia menuturkan pula meskipun ketika itu dia belum sembuh dari trauma, dia juga bekerja.

Namun, kemudian, Amelia memutuskan pindah ke desa, di sebuah dusun, Dusun Bawuk, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 1988, tanpa listrik.

Tinggal di desa itulah dia menyembuhkan luka batinnya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dan dengki.

“Itu hilang. Di desa, itu hilang”

Lebih dari 20 tahun dia tinggal di desa itu, hampir seperempat abad Amelia tinggal di desa, dan dia menyekolahkan Dimas, anak tunggalnya, mulai SMA ke Australia.

Amelia tinggal sendirian di desa, bangun pagi, jam enam sudah di sawahnya, dia juga punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, pepaya, pisang.

Amelia juga punya ayam, yang lalu telurnya dijual, sayangnya selalu rugi, tidak pernah untung, tapi dia tidak pernah tahu kenapa.

“Itulah belajar,” katanya.

Amelia juga banyak bergaul dengan petani, dia pergi ke Bukit Menoreh, sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo.

Hingga kemudian anaknya memanggilnya, katanya, Amelia tidak cocok di situ.

Karena itulah Amelia meninggalkan dusun, kembali lagi ke kota, Jakarta, dan memulai jalan yang lain lagi.

Dia sempat masuk sebuah partai politik, ikut dalam pemilihan kepala daerah, namun tidak berhasil, sampai uangnya habis.

Pengalaman itu membuatnya semakin matang, lalu membuatnya menulis lagi.

“Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi.”

Amelia Achmad Yani lahir di Magelang, Jawa tengah, pada 22 Desember 1949, merupakan putri ketiga dari delapan bersaudara anak dari Achmad Yani dan Yayu Ruliah Sutowirdiyo.

Menurut Amelia, adiknya, Mas Untung, dan Mas Edi, mungkin masih belum bisa menerima bahwa Achmad Yani menjadi korban gugur dalam peristiwa G30S/PKI.

Amelia menuturkan bahwa dia terbawa situasi ketika teman-teman datang mengajaknya bertemu dengan Brigjen Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak DN Aidit, dan anak Marsekal Madya Omar Dhani, yang dalam G30S/PKI ada di seberang sana.

“Saya merasa diuntungkan. ‘Kan saya anak pahlawan revolusi,” katanya.

Tetapi, mereka mengatakan, “Kami (anak dariorangtua yang anggota PKI) anak pengkhianat, (selalu disebut), ‘Kamu PKI, kamu PKI’.”

“Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku), bukan pelaku,” tutur Amelia.

Amelia kemudian pergi ke Pulau Buru (Maluku), untuk melihat seberapa kehidupan di sana, yang waktu itu sudah menjadi lumbung padi di Maluku, karena orang Jawa banyak yang pindah ke sana.

Pulau Buru menjadi tempat para tahanan politik mereka yang terlibat dalam G30S/PKI.

Di Pulau Buru itu, menurut Amelia, dulu memang sulit, ketika semua mengalami kesulitan, inflasi sampai 600 persen, kemudian terjadi lagi tahun 1998.

Maka, Amelia ingin bangsa ini belajar dari semua kejadian yang pernah dialami.

Bila generasi sesudah itu tidak mengalami, maka dia akan menulis, supaya generasi selanjutnya tahu dari sejarah.

Ketika dia tiba di Pulau Buru, banyak yang takut melihatnya, tetapi ketika Amelia mengatakan bahwa dia juga anak korban, barulah orang-orang keluar dengan suguhan minuman.

Amelia juga melihat anak-anak di Pulau Buru tidak berbuat apa-apa, ada Karang Taruna tetapi tidak memiliki apa-apa, lalu dia membelikan organ, dan meeka mulai main musik dan menyanyi, punya uang, lalu menceritakan padanya.

“Itu membuat saya senang. Itu yang harus dibuat secara nasional, bahwa rekonsiliasi bisa terwujud antarmanusia, antarindividu.”

“Kami siap untuk rekonsiliasi, tapi tidak dengan campur tangan pemerintah. Kalau ada campur tangan pemerintah, malah ora dadi (tak jadi),” katanya lagi.

Amelia juga menceritakan ketika bertemu dengan salah satu anak dari tokoh Dewan Revolusi yang menceritakan bahwa ayahnya tertangkap, dua jam sebelum ditembak mati, boleh bertemu dengan keluarganya.

Namun, ayahnya tiu dikubur di sebuah tempat di hutan, hanya diberi kotak semen segi empat dan tanpa nama, mereka, anak-anaknya, pun terus mencari, kira-kira di sebelah mana makam ayah mereka.

Amelia merasa bahwa sebagai anak pahlawan, dia disambut seperti kedatangan Pak Yani, padahal dia cuma anaknya, dan itulah keadaannya.

“Kecuali kalau ada bapaknya merasa tidak berbuat, nah terus cerita sama anaknya, dan cerita lagi, ‘Bapakmu disakiti, bapakmu dipenjara sekian tahun.’, maka mereka jadi dendam.”

Baca Juga: Tidak Hanya di Jakarta, Dua Pahlawan ini Jadi Korban Keganasan G30S/PKI di Yogyakarta

Baca Juga: ‘Kenapa Ayah Mau Dibunuh, Mama?’ Kalimat Terakhir Pendekar Cilik Korban G30S/PKI

Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari

Artikel Terkait