‘Kenapa Ayah Mau Dibunuh, Mama?’ Kalimat Terakhir Pendekar Cilik Korban G30S/PKI

K. Tatik Wardayati

Penulis

Ade Irma Suryani, dan diorama yang ada di Museum AH Nasution.

Intisari-Online.comPeristiwa G30S/PKI yang merongrong bangsa Indonesia pada 57 tahun lalu, tepatnya tanggal 30 September 1965, menyisakan duka mendalam bagi bangsa Indonesia, terutama bagi keluarga korban keganasan G30S/PKI.

Peristiwa Gerakan 30 September yang lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI memakan korban para petinggi TNI AD yang loyal pada bangsa.

Bila Anda belum lahir pada tahun itu, tapi Anda pernah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, maka Anda bisa membayangkan suasana mencekam yang terjadi pada saat itu.

Petinggi TNI AD yang menjadi korban itu ‘dihabisi’ oleh Pasukan Cakrabirawa, dan salah seorang gadis cilik.

Gadis cilik itu adalah Ade Irma Suryani, yang tewas bersimbah darah dalam pelukan ibunya, Johanna Sunarti Nasution.

Dia menjadi ‘tameng’ sang ayah, Jenderal AH Nasution, yang menjadi target para penculik malam itu.

Mengutip dari Tribun Jabar, Hendriati Sahara Nasution, putri sulung Jenderal AH Nasution, menceritakan peristiwa yang merenggut nyawa adiknya pada peristiwa G30S/PKI.

Hendriati mengisahkan bahwa adiknya tewas karena tembakan dari jarak dekat.

Peristiwa berdarah itu bisa digambarkannya dengan jelas, karena dia berada di tempat kejadian.

Kediaman AH Nasution yang berada di Menteng, Jakarta Pusat, sekarang menjadi Museum.

Kejadiannya pada pukul 03.30 WIB, ketika Jenderal AH Nasution dan Johanna terbangun dari tidur mereka, gara-gara nyamuk.

“Pukul 03.30 pagi, ibu saya dan ayah terbangun gara-gara nyamuk. Terdengar pintu digerebek, ibu saya melihat pasukan Cakrabirawa masuk,” kata Hendriati.

Ketika menyadari hal itu, istri AH Nasution langsung menutup pintu kembali.

“Itu yang akan membunuh kamu sudah datang,” kata Johanna kepada suaminya.

Langsung saja, pasukan Cakrabirawa menembaki pintu yang ditutup Johana tersebut.

“Lalu bapak (AH Nasution) bangun dan bilang biar saya hadapi, tapi ibu bilang jangan,” kata Hendriati.

Saat penyerbuan terjadi, Ade Irma Suryani tidur bersama ayah dan ibunya, yang lalu diserahkan kepada adik iparnya, sementara Johanna terus berusaah melindungi AH Nasution.

“Ibu bilang ke adik bapak, tolong pegang Irma, karena dia harus menyelamatkan bapak. Sementara ibu, beliau nangis lihat ayah ditembak,” cerita Hendriati.

Adik AH Nasution lalu menggendong Ade Irma Suryani, namun karena panik, tanpa sengaja dia membuka pintu yang diberondong oleh pasukan Cakrabirawa.

Tak pelak, peluru itu pun menembus badan Ade Irma Suryani.

“Adik saya ditembak, peluru masuk ke tangan tante saya, dan menembus ke badan adik saya,” ujar Hendriati.

Setelah Ade Irma Suryani tertembak, pintu itu ditutup kembali oleh Johanna Nasution.

Lalu, Johanna langsung menggendong tubuh anaknya yang bersimbah darah itu, sambil mengantarkan AH Nasution menyelamatkan diri.

Menurut Hendriati, darah versi aslinya lebih banyak daripada yang ada di diorama Museum AH Nasution.

Di punggung gadis cilik Ade Irma Suryani diperkirakan bersarang tiga butir peluru.

Menurut Hendriati, saat peristiwa G30S/PKI terjadi, usianya masih 13 tahun, dan ketika rumahnya dikepung pasukan Cakrabirawa, dia tidur di kamar seberang kamar orangtuanya.

Ketika dia mendengar suara tembakan itulah dia terbangun, dan berusaha menyelamatkan diri dengan melompat dari jendela kamarnya yang tingginya 2 meter.

“Sampai tulang kaki saya patah yang saya rasakan sakitnya sampai sekarang, paha kaki saya yang kanan penuh dengan pen penyambung tulang,” ucap Hendriati.

Namun, sambil menahan rasa sakit di kakinya itu, dia mencari ajudan ayahnya.

Dia lalu bersembunyi di kamar sang ajudan dan diberi tahu bahwa keselamatan keluarganya sedang di ujung tanduk.

“Tidak berapa lama terjadi ribut-ribut di ruang jaga dan ajudan Pak Nas, Lettu Czi Pierre Tendean diculik. Sampai pagi saya bersembunyi,” kata Hendriati lagi.

Ketika menjelang pagi, Johanna, sang ibu, barulah mencari Hendriati sambil menggendong Ade Irma yang bersimbah darah.

AH Nasution sendiri menyelamatkan diri dengan melompat pagar ke Kedubes Irak yang ada di sebelah rumah mereka, lalu bersembunyi di belakang tong untuk menyelamatkan diri dari para penculiknya.

Ade Irma kemudian dibawa ke RSPAD untuk mendapatkan pertolongan, dia harus menjalani operasi beberapa kali.

Melihat adiknya yang bersimbah darah itu, Hendriati tak kuasa menahan tangis.

“Adik saya bilang, ‘Kakak jangan nangis, adik sehat’,” kisah Hendriati.

Tidak hanya menenangkan kakaknya, Ade Irma pun bertanya kepada ibunya.

“Adik tanya ke ibu saya, ‘Kenapa ayah mau dibunuh mama?’”

Rupanya kalimat tanya itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Ade Irma Suryani sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Ade Irma Suryani meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, tepatnya tanggal 6 Oktober 1965.

Baca Juga: Cita-citanya Jadi Dokter Kandas, Inilah Kisah Letjen MT Haryono, Salah Satu Korban Peristiwa G30S/PKI

Baca Juga: Poster Film G30S PKI Menampilkan Namanya, Inilah Pemeran Mayjend Soeharto dalam Film Fenomenal Tersebut

Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari

Artikel Terkait