Advertorial
Intisari-Online.com - Sebanyak 10 Jenderal dan Perwira kehilangan nyawa di malam berdarah 30 September - 1 Oktober 1995.
Mereka menjadi target penculikan, kemudian dibantai oleh pasukan yang dikenal sebagai Cakrabirawa.
Sampai saat ini tragedi G30S PKI masih terus diperincangkan, terutama menjelang tanggal 30 September.
Peristiwa itu menyisakan misteri yang seolah tak akan pernah benar-benar terang benderang.
Untuk mengenang para Jenderal dan Perwira yang gugur dalam tragedi tersebut, mereka diberikan gelar Pahlawan Revolusi.
Letjen R Suprapto merupakan salah satu di antara 10 korban G30S PKI.
Berdasarkan informasi dari laman Sejarah TNI, pada 30 September 1965, Soeprapto baru saja melakukan pencabutan gigi sehingga pada malam harinya merasa tidak nyaman dan tidak bisa tertidur.
Suprapto pun menyelesaikan lukisan yang niatnya akan diserahkan kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Tetapi, menjelang matahari terbit di tanggal 1 Oktober 1965, peristiwa tak terduga terjadi.
Sekitar pukul 04.30 pagi di hari itu, rombongan penculik menghampiri rumahnya.
Pasukan itu mengatakan Suprapto diminta menemui Soekarno saat itu juga, sehingga sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto mengiyakan.
Namun, ia meminta izin untuk terlebih dulu berganti pakaian. Permintaannya tidak diizinkan, dan justru langsung menodong Suprapto dengan senjata dan sebagian memegang tangannya, sembari membawanya ke luar untuk dinaikkan ke atas truk yang sudah menunggu.
Rupanya, ia dibawa ke Lubang Buaya dna dianiaya dalam keadaan tubuh terikat hingga tewas.
Profil Letjen R Soeprapto
Letjen R Suprapto merupakan seorang Pahlawan Revolusi Indonesia asal Purwokerto.
Jejak karier Letjen R Suprapto terbilang cemerlang. Ia merupakan seorang yang turut berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap pada awal kemerdekaan.
Ia pun pernah menjadi ajudan Jenderal Sudirman.
Anak terakhir dari 10 bersaudara ini mengawali pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau sekolah dasar zaman Hindia Belanda di Purwokerto.
Setamatnya dari HIS, ia melanjutkan pendidikan di MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat SLTP).
Kemudian setelah lulus dari MULO, ia lanjut ke AMS (setingkat SMU) di Yogyakarta dan lulus tahun 1941.
Pada tahun yang sama, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua.
Saat itulah Suprapto mulai terjun ke pendidikan militer.
Ia tergabung dalam Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Namun, Suprapto tidak dapat menyelesaikan pendidikan militernya, karena Jepang sudah lebih dulu menduduki Indonesia.
Oleh Jepang, Suprapto ditawan dan dipenjarakan. Tetapi, ia berhasil melarikan diri dari rumah tahanan.
Suprapto pun kembali ke kampung halamannya, Purwokerto. Di sana ia mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo atau Pusat Latihan Pemuda.
Suprapto sudah merasa tertarik terhadap masalah-masalah sosial, terutama yang berhubungan dengan pemuda.
Dalam kegiatan bidang sosialnya itulah Suprapto berkenalan Soedirman, seorang pemimpin muda yang memiliki pemikiran yang sama dengannya tentang bagaimana cara untuk memajukan pemuda.
Suprapto dan Soedirman pun menyumbangkan tenaga mereka di bidang yang sama.
Selain aktif dalam kegiatan sosial, Suprapto juga mengikuti latihan pemuda lain, seperti keibodan, seinendan, dan suisyintai. Ketiga hal itu adalah organisasi bentukan Jepang.
Di awal kemerdekaan, Suprapto merupakan salah satu pejuang yang berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Selepas itu, ia pun bergabung menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto.
Karena kemampuannya dinilai cukup baik, Suprapto dipercayai menduduki jabatan sebagai Kepala Bagian II Divisi V dan diberi pangkat kapten.
Divisi V itu dipimpin oleh Kolonel Soedirman, tokoh yang sudah ia kenal sejak zaman Jepang.
Pada 12 - 15 Desember 1945, terjadi Pertempuran Ambarawa. Dalam perang ini, Suprapto turut mendampingi Komandan Divisi V.
Setelah Pertempuran Ambarawa berakhir, Kolonel Soedirman dilantik oleh pemerintah menjadi Panglima Besar TKR.
Karena sudah menjalin hubungan baik dengan Suprapto, maka Soedirman pun memilih Suprapto untuk menjadi ajudannya selama ampir dua tahun.
Hingga pada 1948, setelah Markas Komando Jawa terbentuk, Suprapto tidak lagi menjadi ajudan Jenderal Soedirman. Ia diangkat menjadi Kepala Bagian II Markas Komando Jawa yang dipimpin oleh A.H. Nasution.
Menjadi salah satu target dalam peristiwa G30S PKI, Suprato dituduh tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan menggulingkan Soekarno.
Pangkat terakhirnya adalah Mayor Jenderal TNI, tetapi karena gugur dalam tugas, ia kemudian diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) menjadi Letjen. TNI (Anumerta).
Kemudian, berdasarkan SK Presiden RI No. III/Koti/Tahun 1965, pada 5 Oktober 1965, Letnan Jenderal Anumerta Suprapto pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sehingga, kini kita mengenalnya sebagai Letjen R Suprapro, seorang Pahlawan Revolusi Indonesia.
(*)