Advertorial
Intisari-Online.com - Dipanggil Satgas BLBI, Obligor penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Suyanto Gondokusumo, tidak hadir secara langsung dengan alasan tinggal di Singapura.
Pemilik Bank Dharmala itu pun mengirim kuasa hukum untuk mewakilinya. Suyanto Gondokusumo juga sebelumnya sudah dua kali mangkir dari panggilan Satgas BLBI.
Melansir Kompas.com, kuasa hukum dari Suryanto Gondo Kusumo, Jamaslin James Purba, mengaku heran dengan pemanggilan kliennya tersebut oleh Satgas BLBI, karena persoalan tersebut terjadi sudah lebih dari 20 tahun lalu.
Kasus BLBI memang telah melalui perjalanan panjang yang sejak tahun 1998, dan terkesan sulit di selesaikan.
BLBI sendiri merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), kepada bank-bank yang hampir bangkrut dihajar krisis moneter 1998 di Indonesia.
Skema dilakukan lantaran perjanjian Indonesia dengan pihak Dana Moneter Internasional (IMF), di mana dalam mengatasi masalah krisis, pemerintah harus memberikan kucuran dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan dana bantuan sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Tetapi, kemudian dana BLBI justru banyak yang diselewengkan oleh penerimanya, juga terindikasi terjadi penyimpangan pada proses penyalurannya.
Beberapa bankir yang terindikasi melakukan penyelewengan dana, kemudian diburu dan diseret ke pengadilan.
Sementara dari pihak penerima dana, sederet nama juga mulai diperiksa dan diadili.
Namun banyak kasus yang pada akhirnya mandeg lantaran pihak berwenang mengeluarkan SP3 (Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara).
Kuasa hukum dari Suryanto Gondo Kusumo sendiri mengaku mengetahui adanya panggilan melalui media (Koran) Kompas dan mengaku tak habis pikir kliennya masuk daftar panggilan oleh Satgas BLBI.
Padahal, menurutnya, pemilik Bank Dharmala tak hanya Suyanto Gondokusumo.
"Kita melihat peran beliau seperti apa, sih, di perkara BLBI itu," kata James seperti dikutip pada Minggu (26/9/2021).
James menuturkan, kedatangannya ke kantor Kemenkeu pun bertujuan untuk mengetahui hitung-hitungan utang yang ditagih oleh satgas kepada Suyanto.
Dia ingin tahu lebih lanjut dari mana asal-usul hitungan utang bermula mengingat pemegang saham Bank Dharmala bukan hanya Suyanto Gondokusumo saja.
James juga mengungkapkan alasan mangkirnya Suyanto Gondokusumo di panggilan sebelumnya lantaran surat tidak sampai kepada kliennya yang menetap di Singapura.
Dia mengatakan, Suyanto Gondokusumo tinggal Singapura sesaat setelah kerusuhan tahun 1998. Saat itu juga, Bank Dharmala menjadi salah satu penerima kucuran dana BLBI sebesar Rp 904,4 miliar.
Kini, saat pemerintah menagih utang tersebut, kuasa hukum Suyanto Gondokusumo juga mempertanyakan alasan pemerintah baru menagihnya.
"Kenapa baru 20 tahun kemudian baru ditagih ulang? Kenapa enggak saat itu saja dibereskan. Kalau masih ada kurang, ya ini (tunjukan) kekurangannya. Gitu, lho," ujar James.
Profil Suryanto Gondokusumo
Mungkin namanya jarang terdengar, namun, sosok Suryanto Gondokusumo bukanlah orang sembarangan.
Dia merupakan anak tertua dari Suhargo Gondokusumo, pria kelahiran Fujian, Cina, yang merantau ke Indonesia pada 1947.
Akhir 1950, Suhargo mendirikan Dharmala Grup di Surabaya. Pada awalnya, bisnis perusahaan tersebut berada di sektor perdagangan hasil pertanian, salah satunya dengan mengekspor kopi.
Begitu Suyanto Gondokusumo kembali dari studi di Amerika Serikat, pada tahun 1970, ia membantu melebarkan sayap bisnis perusahaan ayahnya.
Baca Juga: Serius Tak Perlu Keluar Uang, Basmi Tikus Berkeliaran Cukup Pakai Cabai, Begini Caranya!
Beberapa bidang yang digeluti yakni real estate seperti Wisma Dharmala, PT Taman Harapan Indah, dan lainnya.
Juga di sektor keuangan dengan mendirikan PT Bank Pasar Warga Nugraha.
Lalu di sektor bisnis impor dan distribusi seperti PT Mekasindo Dharma International dan PT Kayu Eka Ria.
Sayap bisnis Dharmala Grup juga melebar ke luar negeri. Salah satunya melalui perusahaan multinasional yang beroperasi di Hong Kong (DMT International Hong Kong), Filipina dan Thailand. Dharmala Grup juga membentuk DeMat Investment untuk berinvestasi di Tiongkok.
Baca Juga: Serius Tak Perlu Keluar Uang, Basmi Tikus Berkeliaran Cukup Pakai Cabai, Begini Caranya!
Berbagai capaian tersebut berhasil menggiring Dharmala Grup ke daftar kalangan konglomerat Indonesia pada 1990-an dan masuk peringkat No.11.
Dikenal sebagai sosok yang berasal dari keluarga konglomerat, pada 2001, Suyanto Gondokusumo pernah terlibat dalam kasus pelanggaran penggadaian saham PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) kepada Harvest Hero dan Highmead Ltd.
Suyanto dan Direksi disebut melanggar ketentuan-ketentuan pasar modal, kepailitan, perseroan terbatas, KUH Perdata, dan KUHP.
Sementara, berdasarkan laporan daftar pemegang saham PT Pioneerindo Gourmet International Tbk (PTSP) per 30 Juni 2021, Suyanto tercatat sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Kepemilikan di PTSB sekitar 23,6 juta lembar saham atau 10,68%.
Tetapi hanya 2 bulan kemudian, dilansir dari laporan bulanan registrasi pemegang efek PTSP per 31 Agustus 2021, Suyanto diketahui sudah tidak memiliki saham lagi di Pioneerindo yang merupakan pemegang merek California Fried Chicken (CFC) di Indonesia.
Padahal, perusahaan yang identik dengan ayam goreng CFC tersebut mencatat pertumbuhan pendapatan 2,46% per 30 Juni 2021 menjadi Rp 206,6 miliar.
Capaian tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dimana pendapatan usaha baru Rp 201,63 miliar.
Kinerja positif sepanjang 2021 tersebut juga berhasil mendorong PTSP membukukan laba naik 3,38% dari Rp 119,85 miliar menjadi Rp 123,9 miliar per 30 Juni 2021.
(*)