Intisari-Online.com -Saat negara-negara Asia Tenggara makin gelisah terhadap AUKUS yaitu pakta tiga negara: AS, Inggris dan Australia, yang akan menyediakan Australia kapal selam nuklir, Malaysia umumkan mereka mencari pandangan China terkait AUKUS.
Rupanya Malaysia juga khawatir terkait kedamaian dan stabilitas wilayah yang dapat rusak oleh pakta keamanan yang bisa memicu perlombaan senjata itu.
Indonesia juga mengatakan "sangat khawatir atas perlombaan senjata yang berlanjut dan kekuasaan yang bersaing di Indo-Pasifik."
Pengamat mengatakan sikap dua negara ini menunjukkan kekhawatiran sebagian besar perasaan negara-negara wilayah tersebut, yang khawatir mengenai risiko pelanggaran perjanjian nuklir, militerisasi wilayah dan jatuhnya korban karena kompetisi kekuatan besar, dikutip dari Global Times.
Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Hishammudin Hussein mengatakan Rabu lalu kantornya merencanakan untuk visit kerja ke China mendiskusikan masalah ini, terutama dalam isu terkait pertahanan.
Rencana datang setelah Malaysia menyuarakan kekhawatiran serius terkait pakta kapal selam nuklir yang "memiliki potensi mengganggu keamanan dan stabilitas di Asia Tenggara," seperti dikutip dari koran lokal yang mengutip Hishammuddin.
Menteri itu juga mendesak Australia menghubungi Brunei atas masalah tersebut.
Ge Hongliang, direktur College of ASEAN Studies di Guangxi University for Nationalities, mengatakan kepada Global Times Kamis lalu bahwa Malaysia mencari pandangan China karena China selalu menjadi pendukung setia atas prinsip otonom ASEAN dan kekuatan gabungan menolak kekuatan luar.
China dan Malaysia akan berkomunikasi dalam konsensus lebih jauh dan kerjasama lebih di tengah ancaman yang dibawa AUKUS dan bagaimana bereaksi bersama jika ketiga negara AUKUS membuat gerakan lebih jauh merusak perdamaian dan stabilitas wilayah.
Australia mengklaim kapal selam itu hanya ditenagai nuklir, bukan dilengkapi senjata nuklir, tapi ASEAN tidak percaya.
Herman Tiu Laurel, pengisi kolom untuk koran Filipina Pwersa, mengatakan kepada Global Times jika kapal selam nuklir ditenagai oleh "uranium diperkaya" yang dapat dengan cepat diubah untuk dipakai sebagai senjata.
Hal ini akan melanggar kesepakatan ZOOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) ASEAN yang ditandatangani 1971 dan juga Kesepakatan Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Mutti Anggita, pakar nonproliferasi nuklir dan pemimpin analis untuk lembaga penelitian Jakarta mengatakan kepada media lokal jika pakta ini bisa menunjukkan langkah pertama Australia mengembangkan senjata nuklir.
Hal itu menempatkan Australia dan tetangga-tetangganya serta wilayah Asia-Pasifik berisiko menjadi situs kecelakaan nuklir, ujar Mutti.
Kepala Lembaga Keamanan Maritim Indonesia Aan Kurnia mengatakan Senin lalu pemerintah mendengar dampak langsung AUKUS adalah pasukan militer dalam jumlah besar dari negara-negara tidak berkepentingan muncul di Laut China Selatan.
Hal ini akan menyebabkan gangguan dalam jalur kapal yang sudah rutin berlayar, meningkatkan risiko asuransi dan logistik sehingga biayanya naik sehingga bisa menyebabkan krisis energi dan ekonomi.
Filipina, yang politik dalam negerinya kontroversial, adalah satu-satunya negara di kawasan yang mendukung AUKUS, seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa bahwa "peningkatan kemampuan sekutu dekat luar negeri untuk memproyeksikan kekuatan harus memulihkan dan menjaga keseimbangan daripada mengacaukannya."
Laurel mengkritik Locsin karena menjadikan Filipina sebagai bahan tertawaan dalam masalah ini, mencatat media non-AS menggambarkan Locsin sebagai perampas suara ASEAN.
Pakta tersebut harus dibaca dalam konteks "Asia Pivot" yang menggerakkan 60% pasukan militer AS untuk "menahan kebangkitan Asia," tentu saja bukan hanya China, dan militerisasi AS yang meningkat di Asia-Pasifik, kata Laurel,
Hal itu ia serukan kepada pemerintahan Duterte untuk memperbaiki kesalahan serius dan mencela AUKUS sebagai instrumen eskalasi "Perang Dingin".
Manila seharusnya tidak mengabaikan risiko tinggi Asia Tenggara yang berubah menjadi medan perang untuk babak baru persaingan kekuatan besar, kata para ahli, mencatat perbedaan sikap juga merusak sentralitas dan kohesi blok ASEAN.