Advertorial
Intisari-Online.com – Peristiwa G30S/PKI yang terjadi 57 tahun lalu, tepatnya 30 September 1965, menyisakan duka mendalam bagi bangsa Indonesia, terutama keluarga para korban.
Salah satu petinggi TNI AD yang menjadi korban dalam peristiwa G30S/PKI adalah Letnan Jenderal (Letjen) TNI Anumerta Mas Tirtodarmo (MT) Haryono.
Di kediamannya di Jalan Prambanan Nomor 8, Jakarta, MT Haryono tewas ditembak oleh pasukan Cakrabirawa.
Dengan dimasukkan ke dalam truk, jenazah MT Haryono kemudian dibawa ke Lubang Buaya Jakarta Timur.
Bersama para petinggi TNI AD lainnya, jenazah MT Haryono pun dimasukkan ke dalam sumur kecil yang ada di Lubang Buaya.
Lalu, pada 4 Oktober, jenazah korban peristiwa G30S/PKI ini ditemukan dan diberi pemakaman kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada keesokan harinya, 5 Oktober 1965.
Seluruh korban peristiwa G30S/PKI itu pun diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Seperti tercantum dalam buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (2012) karya Minarwati, dikisahkan bahwa Letjen MT Haryono sempat melawan saat akan diculik oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Serma Boengkoes, namun akhirnya tewas tertembak.
Ketika peristiwa kelam tersebut terjadi, pintu rumah MT Haryono diketuk dan terdengar jawaban dari dalam rumah.
“Kalau mau ketemu besok pagi saja di kantor jam 08.00 WIB,” katanya.
Tanpa jawaban, pasukan Cakrabirawa langsung mendobrak pintu depan rumah MT Haryono.
Mereka masuk ke dalam rumah yang gelap karena MT Haryono mematikan lampu rumah.
Ketika pintu terbuka MT Haryono langsung merebut senjata dari pasukan Cakrabirawa, namun dia akhirnya tertembak di belakang dan tewas.
Bersaing dengan PKI
Saat MT Haryono diangkat sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dengan pangkat Mayor Jenderal pada 1 Juli 1964, situasi bangsa Indonesia dilanda berbagai pemberontakan.
Salah satu pemberontakan yang merongrong bangsa Indonesia ketika itu adalah PKI.
Ketika itu PKI mengusulkan untuk membuat Angkatan Kelima dengan mempersenjatai kaum buruh dan para tani.
Atas usulan tersebut, MT Haryono dan perwira tinggi lainnya menolak.
Akibatnya, mereka pun dimusuhi dan menjadi target pada peristiwa G30S/PKI.
Sementara situasi politik Indonesia saat itu, ketika MT Haryono menjabat sebagai Menpangad, sedang panas karena konfrontasi dengan Malaysia, mengutip dari Historia.
Di dalam negeri sendiri, AD bersaing keras dengan PKI demi merebut pengaruh Soekarno.
Akibat situasi politik yang tidak menentu tersebut, MT Haryono pun sering ikut rapat dengan Presiden hingga larut malam.
Diskusi tentang perpolitikan nasional pun dilakukan MT Haryono dengan rekan-rekannya, termasuk berkonsultasi pada Letjen Ahmad Yani.
Tidak seperti biasanya, MT Haryono sering banyak melamun saat mendengarkan musik sebelum peristiwa G30S/PKI.
Siapa sangka, dia menjadi salah satu korban peristiwa G30S/PKI ketika rumahnya didatangi oleh Pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Serma Boengkoes.
Cita-cita jadi dokter kandas
Lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924, MT Haryono mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter.
Dia memperoleh pendidikan di Eurospeesch Lagere School (ELS), kemudian dilanjutkan menempuh pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS).
Setamat dari HBS, MT Haryono melanjutkan pendidikannya di Ika Dai Gakki (Sekolah Kedokteran) pada masa pendudukan Jepang di Jakarta.
Karena saat itu Indonesia sedang masa perang mempertahankan kemerdekaan, dia keluar dari sekolah kedokteran dan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Kemampuannya menguasai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jepang, membuatnya diikutsertakan dalam berbagai perundingan.
Seperti dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949, dia dipercaya sebagai sekretaris delegasi militer Indonesia.
Baca Juga: Berbagai Versi Dalang G30S PKI, hingga Orang-orang yang Dijatuhi Hukuman Mati
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari