Pada tahun 272 SM, Janda Ratu Xuan membunuh Raja Yiqu di istananya.
Dia kemudian mengirim pasukannya untuk membunuh orang-orang Yiqurong, menjadikan kerajaan nomaden tidak ada lagi, dan Janda Ratu Xuan mampu memperkuat perbatasannya.
Sepanjang masa pemerintahannya, Janda Ratu Xuan memberikan kedudukan penting kepada kerabatnya di istana, termasuk Wei Ran yang menjadi perdana menterinya.
Janda Ratu Xuan juga membuat keputusan negara tanpa persetujuan kaisar, dan semua dokumen keluar dengan persetujuannya dan bukan raja.
Namun, pada tahun 266 SM, dalam masa empat puluh satu tahun pemerintahan Kaisar Zhaoxiang, raja tiba-tiba berbalik melawannya.
Dia memotong kekuatan Janda Ratu Xuan, menggantikan Wei Ran sebagai perdana menteri dengan Fan Sui, juga mengusir semua sekutu Janda Ratu Xuan, dan ini mengakhiri kekuasaan Janda Ratu Xuan.
Pada 265 SM, Janda Ratu Xuan jatuh sakit. Menjelang kematiannya, dia ingin dikuburkan bersama kekasihnya, Wei Choufu (ironisnya itu berarti “pria jelek”, tetapi kenyataannya, dia sangat tampan), namun Menteri Young Rui berhasil membujuknya untuk membuat keputusan.
Ketika Janda Ratu Xuan meninggal, Kaisar Zhaoxiang menguburkannya di Gunung Li.
Ini membuat beberapa sejarawan menyebut Janda Ratu Xuan sebagai pemilik pasukan Terakota, bukan Qin Shi Huang.
Meskipun citra Janda Ratu Xuan disebut ‘ratu nakal’, namun banyak sejarawan menganggapnya sebagai politisi yang cerdik.
Dia adalah Janda Permaisuri pertama dalam sejarah China, yang memerintah dengan cakap selama 40 tahun, dan seorang wanita yang lebih peduli tentang kerajaannya daripada perasaannya sendiri.
Dia menggunakan tipu muslihat dan daya tarik seksualnya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Itulah mengapa sejarawan China menyebutnya sebagai ‘negarawan yang luar biasa’.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR