Intisari - Online.com -Komunitas dunia terperanjat atas ketegangan akut antara AS dan sekutu NATOnya di satu sisi dan Rusia di sisi lain, yang menitikberatkan pada konfrontasi militer, yang mana tidak dilihat dunia sejak era Perang Dingin.
Bagian mengejutkan adalah konflik ini menjadi perjuangan tanpa batas yang diperjuangkan dengan gigih, karena prasangka rasial dan agama yang tersembunyi sudah muncul ke permukaan dunia Barat.
Pemandangan menghibur dari saluran TV Barat secara terbuka mendiskusikan mengapa kebijakan pintu terbuka atas pengungsi dari Ukraina dijamin di negara-negara Eropa, menggarisbawahi arus lintas budaya bawah tanah di bawah lapisan tipis modernitas.
Melansir Asia Times, para jurnalis Barat telah berargumen secara bersemangat bahwa para pengungsi ini tidak seperti sub-manusia dari negara-negara Muslim yang mengetuk pintu negara-negara Eropa mencari suaka, tapi mereka adalah pengungsi Ukraina beragama Kristen, lengkap dengan rambut pirang dan mata terang!
Hal ini disayangkan banyak pihak bahwa sifat sejati manusia langsung muncul, bukan masalah pendidikan atau kekayaan.
Mantan diplomat India, M K Bhadrakumar, menyebut bahwa sekretaris jenderal Antonio Manuel de Oliveira Guterres sudah seperti orang Barat dari Portugal dan seorang Katolik Roma daripada sekretaris jenderal PBB.
Menggantikan Dag Hammarskjöld, Guterres adalah sekretaris jenderal PBB pertama yang bertentangan dengan anggota permanen Dewan Keamanan PBB, atau lebih tepatnya diidentifikasi secara total dengan salah satu anggota DK PBB melawan yang lain.
Bentrokan Hammarskjöld dengan AS tidak bersifat pribadi, tetapi berdasarkan prinsip dan ideologi, sedangkan motif Guterres meragukan.
Apakah kebetulan bahwa perwakilan khususnya di tempat-tempat bermasalah di dunia di mana pun kepentingan Barat dipertaruhkan – baik itu Myanmar, Somalia, Sudan, Afghanistan atau Venezuela – menjadi calon dari negara-negara Barat?
Diamnya negara Muslim
Tentu saja, Guterres tidak akan menghadapi kondisi sulit Hammarskjöld.
Namun Guterres merendahkan organisasinya sendiri di mana mayoritas besar negara berasal dari dunia non-Barat.
Tidak ada negara Muslim satupun yang mendukung Washington dalam konfrontasi dengan Rusia.
Walaupun mereka akan menjadi pemangku kepentingan di Perang Dunia Ketiga, mereka memilih tidak memikirkannya.
Masalahnya adalah mereka berpikir ini hanyalah masalah lain dari negara-negara Kristen, ditutupi sebagai nilai dan "tatanan berdasarkan aturan" yang sudah sering kali mereka alami.
Mereka melihat bahwa negara-negara Barat kembali ke sifat perang mereka, endemi untuk sejarah Eropa melalui berabad-abad lamanya.
Jika laporan benar, maka Arab Saudi menolak permintaan pemerintahan Joe Biden untuk memutus persekutuan dagang dengan Rusia yang dikenal sebagai OPEC+.
OPEC+ menjadi kunci posisi pemasok pasar minyak dunia.
Musuh Arab Saudi, Iran dan Rusia, juga sudah dengan terbuka mendukung Rusia.
Turki menawarkan mediasi antara Rusia dan Ukraina dan memang telah mengadakan pembicaraan di Belarusia.
Namun, Israel yang justru membuat aksi paling mencengangkan.
Israel mencegah pemindahan sistem pertahanan rudal Dome mereka ke Ukraina, yang bisa menjadi pengubah permainan dalam konflik terbaru.
Hal ini menunjukkan mereka tidak ingin melawan Rusia.
Baik Washington dan Tel Aviv membungkam ketegangan ini sampai akhirnya terkuak media.
Kemudian datanglah permintaan dari pemerintah Biden mencari dukungan dari Israel untuk mendukung bersama resolusi di Dewan Keamanan terkait Ukraina, dan Israel menolak.
Setelah itu dalam pembicaraan di Kementerian Luar Negeri Rusia di Moskow, Duta Besar Israel tampaknya diminta pihak Rusia apakah negaranya tidak sadar dengan yang terjadi di Ukraina, di mana perhitungan kekuatan ada di tangan kelompok neo-Nazi bertindak dengan dukungan negara-negara Barat.
Guna memastikan, Israel harus sadar dengan situasi.
Ukraina tidak seperti negara lain bagi Israel.
Ukraina adalah tempat di mana pada akhir 1941, tentara Nazi, SS dan polisi Jerman melaksanakan pembantaian massal terbesar di Perang Dunia II.
Situs Pembantaian Massal Ukraina
Hal ini terjadi di jurang yang disebut Babyn Yar di luar ibu kota Ukraina, Kiev.
Menurut Ensiklopedia Holocaust, "Jerman melanjutkan melakukan pembunuhan massal di lokasi itu sampai akhirnya Soviet mengambil kekuasaan Kiev pada 1943. selama periode ini, Jerman menembak Yahudi, bangsa Roma, warga sipil Ukraina dan tawanan perang Soviet.
"Berpuluh-puluh tahun sejak perang, Babyn Yar menjadi simbol perjuangan atas kenangan Perang Dunia II dan Holocaust di Uni Soviet."
Kita tidak pernah tahu reaksi kedutaan besar Israel kepada ketegangan Rusia, tapi Moskow memiliki mendapatkan kejutan yang menyenangkan ketika Perdana Menteri israel Naftali Bennett memanggil Presiden Rusia Vladimir Putin hari Minggu lalu menawarkan mediasi atas Ukraina.
Rusia mengatakan secara singkat: "Dalam kesempatannya, Naftali Bennett menawarkan mediasi Israel untuk menghentikan aksi militer."
Putin tentu saja memberi tahu Bennett terkait operasi militer khusus melindungi Donbas dan menjelaskan bahwa Moskow "siap berbicara dengan perwakilan Kiev, yang menunjukkan pendekatan inkonsisten sejauh ini dan tidak menggunakan kesempatan itu."
Israel berada di posisi yang sulit.
AS adalah sekutu dekat Israel dan Bennett telah mengambil garis hati-hati tidak membiarkan perbedaan dengan pemerintahan Biden menjadi sengketa, tidak seperti pendahulunya Benjamin Netanyahu.
Di sisi lain, Israel memiliki hubungan istimewa dengan Rusia atas hal fakta bahwa mereka sudah menderita hebat di tangan penyerang Nazi.
Lagi pula, lebih dari 20 juta warga Soviet tewas selama Perang Dunia II.