Intisari-Online.com - Untuk mengatasi demonstrasi besar-besaran pada tahun 1966, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret atau dikenal sebagai Supersemar.
Demonstrasi besar-besaran tersebut menuntut agar dipenuhinya Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat.
Adapun isi Tritura, di antaranya:
Ketika itu, digelar juga aksi-aksi di berbagai tempat strategis lainnya di Jakarta.
Baca Juga: Ceritakan Sejarah Berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai di Sumatera
Tuntutan yang tak kunjung dipenuhi membuat para mahasiswa terus menggelar aksi.
Selain para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), ikut juga berbagai unsur lainnya.
Seperti KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya (KABI, KASI, KAWI, KAGI).
Puncak aksi terjadi pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran kembali terjadi di depan Istana Negara. Demonstrasi ini juga didukung tentara.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.
Dalam posisi yang semakin terjepit, akhirnya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Supersemar berisi perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara yang chaos.
Kelak, Supersemar menjadi pembuka jalan naiknya Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun.
Latar Belakang Lahirnya Tritura
Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar untuk mengatasinya, apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Tritura?
Situasi politik dan ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1960-an yang melatarbelakangi munculnya Tritura.
Dalam Buku Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 (2011) yang diterbitkan Kemenparekraf tertulis bahwa kondisi politik di Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan 1965 diwarnai oleh konstelasi tiga kekuatan politik.
Tiga kekuatan besar yang berkembang pada saat itu berpusat pada Soekarno, ABRI (Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketidakstabilan politik kemudian menyebabkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Belum lagi kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi negara barat karena sikap anti neokolonialisme dan neoimperialisme menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.
Sikap itu membuat Indonesia akhirnya kehilangan dukungan internasional baik di bidang politik maupun ekonomi.
Puncaknya adalah pada malam gerakan 30 September (G30S). Tentara menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal pada malam berdarah itu.
Situasi tersebut memicu amarah dari para pemuda antikomunis.
Kemudian pada akhir Oktober 1965, para mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan dukungan dan perlindungan tentara.
Selain memprotes Soekarno yang tak bersikap apa-apa terhadap peristiwa G30S, rakyat juga memprotes buruknya perekonomian di bawah Sukarno.
Ketika itu, ketidakstabilan politik dan ekonomi membuat rakyat merasa kesulitan.
Memasuki 1966, inflasi mencapai 600 persen lebih. Sementara Soekarno hanya mengabaikan suara rakyat.
Pada 9 Januari 1966, KAMI merumuskan dan menyepakati Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), disepakati pula bahwa pada keesokan harinya digelar demonstrasi besar-besaran.
Maka kini, tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.
Peristiwa Tritura sendiri menjadi catatan sejarah Indonesia, bagaimana para mahasiswa berupaya memperbaiki kondisi politik dan memperjuangkan hak rakyat.
(*)