Pantas Belanda Ngotot Penjarakan Sejarawan Bonnie Triyana, Ternyata 'Masa Bersiap' Menyisakan Trauma Bagi Mereka, Bahkan Etnis 'Lokal' Turut Jadi Korban

K. Tatik Wardayati

Editor

Sejarawan Bonnie Triyana dalam acara ngaji bareng Bung Karno yang digelar Megawati Institut, di Jakarta, Jumat (16/7/2017).
Sejarawan Bonnie Triyana dalam acara ngaji bareng Bung Karno yang digelar Megawati Institut, di Jakarta, Jumat (16/7/2017).

Intisari-Online.com – Baru-baru ini, sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana, menjadi kontroversi di Belanda karena tulisannya.

Dia menulis opini tentang periode ‘Bersiap’, terminologi Belanda untuk menyebut masa yang dikenal di Indonesia sebagai masa ‘Agresi Militer’.

Bonnie merupakan salah satu dari dua kurator tamu dari Indonesia untuk pameran Revolutie! Indonesie onafhankelijk (Revolusi! Kemerdekaan Indonesia) di Rijksmuseum.

Pameran tersebut rencananya akan digelar mulai 11 Februari mendatang, yang menawarkan perspektif internasional atas perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Kolonial Belanda selama periode 1945-1949.

Dua kurator lain untuk pameran ini berasal dari Belanda, yaitu Harm Stevens dan Marion Anker, sementara kurator tamu dari Indonesia lainnya adalah Amir Sidharta.

Namun, polemik muncul ketika Federatie Indische Nederlanders (Federasi Belanda-Indisch – FIN) menyatakan keberatan pada Bonnie.

Mereka keberatan atas tulisan opini Bonnie yang terbit di media berhaluan liberal NRC.

Opinie Bonnie tersebut dimuat dengan judul “Schrap term ‘Bersiap’ voor periodisering want die is racistisch”, yang artinya “Hapus istilah ‘Bersiap’ dalam periodisasi tersebut karena rasis”, yang bisa dikases di situs NRC.

Baca Juga: Blingsatan Usai Sejarawan Bonnie Triyana Ogah Gunakan Istilah 'Bersiap', Belanda Bak Lupa Aksi Kejam Komandannya Ini, Bantai Puluhan Ribu Warga dengan Cara Keji Ini

Baca Juga: Tak Hanya di Indonesia, Sejarawan Sebut Keislaman Soekarno Berhasil Pengaruhi Arab Saudi hingga Uni Soviet,'Dia Memberikan Kesan yang Mendalam Bagi Kami'

Lalu, dalam edisi cetak yang terbit sehari setelahnya (12/1/2022), judul tulisan tersebut diganti dengan “Simplicerende term ‘Bersiap’ deugt niet als periode-naam”, yang berarti “Penyederhaan istilah ‘Bersiap’ karena tidak masuk akal untuk periode tersebut”.

Istilah ‘Bersiap’ di Belanda, umum dipakai dalam merujuk pada kekerasan anti-kolonial yang dilakukan oleh orang Indonesia dalam rentang waktu antara 1945-1950.

Kemudian, setelah berakhirnya pendudukan Jepang pada 1945, Belanda bersiap lagi untuk menguasai kembali daerah jajahannya dengan mengerahkan ribuan pasukan.

Dalam tulisannya, Bonnie menyatakan bahwa pada awalnya istilah ‘Bersiap’ dipakai para pejuang Indonesia sebagai aba-aba perang untuk menyerang orang-orang Belanda yang baru tiba di Kamp Jepang.

Ledakan kekerasan lokal ini sebagai revolusi sosial yang memuat ketegangan struktural sejak zaman kolonial dan pendudukan Jepang.

Dan ini kemudian berlaku untuk kekerasan terhadap warga negara Belanda setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945.

Melansir kompas.com (5/8/2021), ‘Bersiap’ merupakan istilah yang dicetus oleh Belanda untuk fase kekerasan dan kekacauan Revolusi Nasional Indonesia setelah Perang Dunia II berakhir.

Kata ‘Bersiap’ sendiri berarti ‘bersiap-siap’.

Baca Juga: Dibentuk Setelah Jatuhnya Kerajaan Majapahit, Kerajaan Badung pun Jatuh Dalam Taklukkan Kolonialisme Belanda dengan Trik Tipuan Kapal Karam, Meski Rakyat Sudah Lawan Hingga Titik Darah Penghabisan

Baca Juga: Inilah Jumlah Populasi di Papua Barat, Rupanya Pendatang di Papua Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Pada periode ‘Bersiap’ ini ditandai dengan terjadinya kekacauan dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan yang disebut Pemoeda, dengan orang pro-Belanda.

Periode ‘Bersiap’ dimulai sejak 1945, hingga berakhir pada 1946, yang berakibat dari pertempuran ini sekitar 7.000 hingga 20.000 orang tewas.

Orang-orang Indonesia yang disebut Pemoeda, tidak menyukai orang-orang yang dekat dengan Belanda maupun orang Belanda asli dan keturunannya.

Mereka yang bekerja untuk Belanda pun disebut sebagai mata-mata Belanda.

Maka, masa bersiap ini bermula pada Oktober 1945.

Disebut ‘Bersiap’, karena saat itu terdengar seruan ‘Bersiap’ saat tentara Sekutu melakukan patroli di jalanan.

Sementara, di Indonesia, istilah ‘Bersiap’ dalam konteks tersebut justru tidak dikenal.

Menurut Bonnie, istilah ‘Bersiap’ menggambarkan orang Indonesia yang primitif dan tidak beradab sebagai pelaku kekerasan, gambaran yagn tidak sepenuhnya bebas dari kebencian rasial.

Baca Juga: Pernah Jadi Partai Komunis Terbesar Ketiga di Dunia, Beginilah Ketika PKI Membuat Indonesia Menjunjung Komunisme dan Hampir Menjadi Negara Komunis

Baca Juga: Takut Setengah Mati Rakyat Indonesia Bakal Melawan, Ternyata Berkumpul untuk Salat Ied Saja Susah Dilakukan di Era Pemerintah Kolonial Belanda

Padahal, menurutnya, akar masalah terletak pada ketidakadilan yang diciptakan kolonialisme, yang membentuk struktur masyarakat hierarkis berbasis rasisme serta menyelimuti eksploitasi daerah jajahannya.

Namun, dari semua permasalah tersebut, Rijksmuseum menampik anggapan bahwa mereka ‘melakukan penyensoran dan pelarangan’ atas istilah ‘Bersiap’.

Taco Dibbits, Direktur Rijksmuseum mengatakan, bahwa tulisan Bonnie merupakan pendapat pribadi dan ‘tak diakui’ oleh Museum Kerajaan Belanda.

Menurut juru bicara museum, terminologi adalah diskusi penting dan Rijksmusem ‘tidak menghapus istilah, melainkan menambah informasi dan mengkontesktualisasikan.’

Menurut Rijksmuseum, istilah ‘Bersiap’ merujuk pada masa kekerasan terhadap orang-orang Indo-Eropa, Belanda, Maluku, China, dan pihak-pihak lain yang dicurigai berada di pihak Belanda.

Dalam konteks sejarah, itu sebagai bagian dari bentuk-bentuk kekerasan berbeda dalam periode 1945-1946.

Maka, atas argumentasi itulah, Rijksmuseum tetap menggunakan istilah ‘Bersiap’.

Menurut Rijksmuseum dalam pernyataannya, “Kami tidak melarang (istilah ‘Bersiap’). Kami tidak menyangkal kekerasan dan penderitaan yang dimaksud dalam ‘Bersiap’, juga luka yang sampai saat ini masih dirasakan banyak orang.”

“Sama seperti kekerasan yang juga dilakukan kepada kelompok-kelompok Indonesia.”

Baca Juga: Sri Mulyani Singgung Utang Warisan Kolonial, Ternyata Jumlahnya Setara 7 Kali Dana Vaksin Indonesia, Belum Tektek Bengeknya

Baca Juga: 'Ayo Teruskan Saja Penghinaan Lahir dan Batin Itu!' Tulisan Garang Ki Hajar Dewantara untuk Pemerintah Kolonial Belanda

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait