Penulis
Intisari-Online.com - Bonnie Triyana merupakan salah satu dari dua kurator tamu dari Indonesia untuk pameran Revolutie! Indonesie onafhankelijk (Revolusi! Kemerdekaan Indonesia) di Rijksmuseum.
Pameran tersebut rencananya digelar mulai 11 Februari mendatang.
Pameran ini disebut akan menawarkan perspektif internasional atas perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Kolonial Belanda selama periode 1945-1949.
Sebelum pameran berlangsung, muncul polemik saat Federatie Indische Nederlanders (Federasi Belanda-Indisch - FIN), Selasa (11/1/2022), menyatakan keberatan pada Bonnie, atas tulisan opininya di media.
Opini Bonnie dimuat dengan judul berjudul "Schrap term 'Bersiap' voor periodisering want die is racistisch", yang berarti "Hapus istilah 'Bersiap' dalam periodisasi tersebut karena rasis".
Dalam edisi cetak yang terbit sehari setelahnya (12/1/2022), judul itu diganti dengan "Simplicerende term 'Bersiap' deugt niet als periode-naam" atau "Penyederhanaan istilah 'Bersiap' karena tidak masuk akal untuk periode tersebut".
Di Belanda, istilah 'Bersiap' umum dipakai untuk merujuk pada kekerasan anti-kolonial yang dilakukan orang Indonesia dalam rentang waktu antara 1945-1950.
Seperti banyak diketahui, setelah berakhirnya pendudukan Jepang pada 1945, Belanda ingin menguasai kembali daerah jajahannya dengan mengerahkan ribuan pasukan.
Masa tersebut dikenal di Indonesia sebagai masa “Agresi Militer”.
Menurut Bonnie, di Indonesia istilah 'Bersiap' dalam konteks itu justru tidak dikenal.
"Jika kita menggunakan istilah 'Bersiap' secara umum untuk kekerasan kepada Belanda selama periode tersebut, hal ini berkonotasi sangat rasis," tulis Bonnie dalam opini tersebut.
Terlebih, lanjut Bonnie, istilah 'Bersiap' selalu menggambarkan orang Indonesia yang primitif dan tidak beradab sebagai pelaku kekerasan
Padahal, akar masalah terletak pada ketidakadilan yang diciptakan kolonialisme, sebut Bonnie, yang membentuk struktur masyarakat hierarkis berbasis rasisme serta menyelimuti eksploitasi daerah jajahannya.
Sementara itu, Rijksmuseum menampik anggapan bahwa mereka "melakukan penyensoran dan pelarangan" atas istilah 'Bersiap'.
Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits mengatakan, tulisan Bonnie atas pendapat pribadi dan "tak diakui" oleh Museum Kerajaan Belanda.
Menurut mereka, terminologi adalah diskusi penting dan Rijksmuseum "tidak menghapus istilah, melainkan menambah informasi dan mengkontekstualisasikan".
Baca Juga: Penjelasan Lengkap Latar Belakang dan Kronologi Berdirinya Kerajaan Demak
Rijksmuseum membahas istilah 'Bersiap' — yang merujuk pada masa kekerasan terhadap orang-orang Indo-Eropa, Belanda, Maluku, China, dan pihak-pihak lain yang dicurigai berada di pihak Belanda — kata mereka, dalam konteks sejarah, sebagai bagian dari bentuk-bentuk kekerasan berbeda dalam periode 1945-1946.
Atas argumentasi itulah, Rijksmuseum tetap menggunakan istilah 'Bersiap'.
Padahal, masa yang dikenal di Indonesia sebagai Agresi Militer Belanda itu merupakan masa pembantaian orang Indonesia oleh pasukan Belanda.
Salah satu peristiwa yang memakan puluhan ribuan nyawa orang Indonesia terjadi di Sulawesi Selatan dan dikenal sebagai Pembantaian Westerling.
Pembantaian itu dilakukan kepada orang-orang yang berusaha melawan atas kedatangan kembali pasukan Belanda.
Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.
Maka pada akhir 1946, 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar.
Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946 dan ditugasi untuk menumpas orang-orang yang dianggap sebagai pemberontak.
Baca Juga: 3 Cara Jitu Menghilangkan Noda Kuning pada Dudukan Toilet di Rumah
Pemberontak itu merujuk pada kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Melansir Kompas.com, Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.
Ia menuliskan kekejaman Belanda dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018).
Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.
Sesampai di Makassar, ia membangun kamp di Mattoangin. Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua.
Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.
Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda. Ia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.
Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat. Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan berikutnya.
Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.
Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki. Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.
Kemudian, pada 1 Februari, DST dan KNIL menggelar operasinya di Galung Lombok. Sebanyak 364 orang tewas.
Operasi Westerling berlangsung selama lebih dari tiga bulan, dari 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947. Sedikitnya 40.000 orang tewas dibantai Westerling dan pasukannya.
Pembantaian Westerling menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia. Kekejaman itu meninggalkan penderitaan dan trauma yang mendalam. Tetapi, pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili.
Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.
Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil. Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.
Bahkan, pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut.
(*)