Intisari-Online.com -Lima butir Pancasila yang kita kenal sekarang ini ternyata lahir di bawah pohon sukun. Pohon sukun itu terletak sekitar 700 meter dari kediaman Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, ketika diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934.
(Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa)
Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua, Ibu Amsi, dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende. Kehidupan Soekarno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.
Dibuangnya Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah memang sengaja dilakukan Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya.
Dikutip dari buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Ia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.
(Baca juga: Militer Australia Hina Pancasila: Tahukah Anda Sejarah Lahirnya Garuda Pancasila?)
Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu.
Sehari-hari, Soekarno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh. Ia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan.
Di sela kegiatan seninya, Soekarno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama T. A. Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink.
Dari sinilah Soekarno menjadi lebih relijius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.
Sebuah tempat favoritnya untuk berkontemplasi adalah di bawah pohon sukun yang menghadap langsung ke Pantai Ende.
Seperti disebut di awal, pohon sukun itu berjarak 700 meter dari kediaman Soekarno. Biasanya, Soekarno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam.
Di tempat itulah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus. Ia memiliki cerita sendiri soal itu. Berikut yang dikisahkan Soekarno:
…suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada…(Baca juga:Terungkap Sudah Misteri di Balik Lukisan Da Vinci)
Ketika menjadi Presiden pertama Indonesia, Bung Karno kembali mengunjungi Ende pada tahun 1950.
Bung Karno tidak lupa pada pohon sukun favoritnya itu. Di sanalah Bung Karno bercerita proses pencetusan Pancasila yang kini ditetapkan sebagai dasar negara.
Sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila.
Namun, pohon aslinya sudah mati pada tahun 1970-an. Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama.