Intisari-Online.com - Bagaimana kita harus menanggapi perayaan Hari Kebangkitan Nasional setiap tahunnya?
Untuk mencoba menjawabnya, mari kita simak tulisan “Artikel Dari Pelosok Indonesia Makna Kebangsaan dari Sabang sampai Merauke” karya Seno Gumira Ajidarma yang dimuat di majalah Intisari edisi Agustus 2008.
--
(Baca juga: Benarkah Indonesia Selalu Dipandang Rendah oleh Bangsa Malaysia)
Seratus Tahun Kebangkitan Nasional (1908 - 2008), bagaimanakah hal itu harus ditanggapi?
Seorang Indonesianis bernama Ben Anderson, berdasarkan penelitiannya tentang Indonesia maupun tempat-tempat lain, telah mengajukan teori yang sampai hari ini diacu dalam berbagai kajian ilmiah di seluruh dunia.
Itulah teori yang dituliskannya dalam buku Imagined Communities (1983), suatu telaah kritis asal-usul dan penyebaran nasionalisme, dengan kesimpulan yang mengejutkan: bahwa yang disebut bangsa ternyata adalah suatu imajinasi.
Jadi, ke-indonesia-an sebagai suatu kebangsaan, bagi orang Indonesia sendiri pun adalah sesuatu yang dibayangkan, tentu dengan persepsinya sendiri-sendiri.
(Baca juga: 3 Masalah Pokok yang Mendera Bangsa Indonesia, Menurut Jokowi-JK)
Dalam bukunya Anderson mencatat, bahwa Guinea Baru sebelah barat masuk sebagai faktor penting "dongeng perjuangan" melawan penjajah, sebagai situs keramat pembayangan Indonesia Merdeka (yakni dari Sabang sampai Merauke) tanpa pernah ada Guinea Timur sebagai bagiannya.
Jadi sebuah Irian Barat tanpa Irian Timur, seperti ditunjukkan dalam petalogo warisan penjajah: tempat pulau itu selalu dipotong separuh.
Konflik berdarah yang selalu ditutupi dan terjadi justru setelah Irian Barat "kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi" pada 1963, adalah bukti bahwa sebagian penduduk setempat memandang kebangsaan nasional Indonesia secara berbeda dari para "pembebas"-nya.
Lebih rumit dari konflik, yang justru menegaskan di sebelah mana wilayah geografis resmi Indonesia sebagai negara, adalah representasi kebudayaan.
Dalam tinjauan Intisari ke dua titik simbolis Indonesia, Sabang dan Merauke, tercatat ilustrasi seperti berikut:
Di Sabang, kota di ujung barat Indonesia itu, masih terdengar lagu-lagu P. Ramlee, penyanyi idola dan ikon Malaysia dari tahun '50-an, yang bagi penduduk Sabang tetap saja dianggap sebagai "orang Aceh", karena memang berasal dari Aceh.
Bahwa kenyataan ini tidak menjadi masalah bagi Malaysia, negeri tetangga yang untuk sebagian memang "serumpun Melayu" dengan Indonesia, menunjukkan adanya kesatuan budaya lain yang tumpang tindih dengan kesatuan yang selalu diangankan sebagai kesatuan Indonesia.
Di Merauke, tepatnya di garis perbatasan dengan Papua Nugini, dengan mudah disaksikan bagaimana orang-orang Kanum setiap hari melakukan perjalanan kaki ulang-alik lintas negara.
Membawa hasil bumi dari bagian Papua Nugini, dan menjualnya di pasar yang berada di bagian Indonesia, dan kembali lagi pada hari yang sama, dengan persepsi bahwa ladang dan pasar itu berada dalam kesatuan wilayah saja, yakni wilayah kehidupan suku mereka, sebagai pengertian yang sudah eksis berabad-abad sebelum kedua negara modern pascakolonialisme itu membelahnya.
Angka-angka garis lintang dan bujur geografis pada tugu perbatasan, di samping "rumah semut" khas Merauke itu, bagi mereka tidak terlalu banyak artinya.
Tanpa harus berada di perbatasan, tumpang tindihnya konsep "Indonesia" dengan berbagai konsep kesatuan setempat, memang menarik dibongkar-bongkar: bagaimanakah sebenarnya orang Indonesia memandang Indonesia?
Apalagi ketika konsep kesatuan mutakhir yang disebut globalisasi, meramaikannya dengan ketumpangtindihan baru.
Menyambut Seratus Tahun Kebangkitan Nasional, setelah seri laporan Walisanga dan Dunia Para Kartunis, mulai nomor ini setiap dua bulan sekali Intisari melaporkan kepada Pembaca yang Budiman, bagaimanakah kiranya konsep "Indonesia" terpandang dan terungkap di berbagai pelosok tanah air.
Sering dikatakan bahwa keragaman merupakan kekayaan Indonesia, kiranya hal tersebut sudah waktunya tidak sekadar dibayangkan, melainkan diperiksa sendiri.