Advertorial

Peran Pelajar dan Mahasiswa dalam Aksi Tritura Dikenang hingga Sekarang, Inilah Sejarah Lahirnya Tritura

Khaerunisa

Editor

Intisari-Online.com - Kini setiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.

Itu untuk mengenang peran pelajar dan mahasiswa dalam aksi Tritura.

Tritura menjadi catatan sejarah Indonesia, tentang bagaimana para mahasiswa berusaha memperbaiki kondisi politik dan memperjuangkan hak rakyat.

Pada tanggal 10 Januari tahun 1966, para mahasiswa melakukan aksi dengan mengumandangkan Tritura, yaitu Tri Tuntutan Rakyat atau tiga tuntutan rakyat.

Mereka menggalar aksi di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Di sanalah Tritura pertama kali dikumandangkan.

Digelar pula aksi-aksi di tempat strategis lainnya di Jakarta.

Perwakilan mahasiswa sempat menghadiri sidang kabinet dan mendapatkan jawaban atas beberapa tuntutan.

Namun, situasi kembali memanas setelah Presiden Soekarno menganggap bahwa janjinya sulit direalisasikan, dan juga jatuh korban jiwa dalam bentrokan mahasiswa dan pasukan pengawal Presiden.

Baca Juga: Disebut Tonggak Lahirnya Orde Baru, Apa yang Dimaksud dengan Tritura?

Baca Juga: Terjadi Demo Besar-besaran, Inilah Latar Belakang dan Dampak Tritura

Presiden Soekarno menuduh gerakan mahasiswa dimanipulasi dan ditunggangi oleh kekuatan neokolonialisme dan imperialisme.

Mahasiswa pun kembali bergerak agar Tritura dipenuhi.

Salah satunya dengan melakukan aksi sabotase pelantikan Kabinet Baru yang memaksa para calon menteri harus mencapai istana dengan menggunakan helikopter.

Salah seorang demonstran dari Universitas Indonesia, bernama Arif Rachman Hakim, tertembak dan gugur dalam bentrokan antara mahasiswa dan Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal khusus Presiden.

Kemudian, nyaris setiap hari aksi demonstrasi dilakukan.

Puncaknya terjadi pada 11 Maret 1966, dengan mahasiswa kembali menggelar demonstrasi secara besar-besaran di depan Istana Negara.

Untuk menangani situasi itulah pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang kini kita kenal sebagai Supersemar, yaitu Surat Perintah 11 Maret.

Surat perintah itu memberikan tugas kepada Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Baca Juga: Salah Satunya Berisi Perempuan Tercantik yang Selalu 'Dibawa Tidur' Sang Raja Pajajaran, Inilah 3 Pusaka Sakti Prabu Siliwangi, Mana yang Paling Bertuah?

Baca Juga: Omicron di Indonesia Tembus 748 Kasus, Para Ahli Memprediksi Bahwa Ini Bukan Varian Terakhir yang Akan Muncul, Apakah Selanjutnya Lebih Buruk?

Peristiwa Tritura pun disebut sebagai tonggak lahirnya Orde Baru, di mana peristiwa tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Selain itu, peristiwa Tritura juga ada kaitannya dengan tragedi 30 September atau yang dikenal sebagai G30S.

Sejarah Lahirnya Tritura

Lahirnya Tritura dilatarbelakangi oleh situasi politik dan ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1960-an.

Dalam Buku Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 (2011) yang diterbitkan Kemenparekraf tertulis bahwa kondisi politik di Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan 1965 diwarnai oleh konstelasi tiga kekuatan politik.

Tiga kekuatan besar yang berkembang pada saat itu berpusat pada Soekarno, ABRI (Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketidakstabilan politik kemudian menyebabkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Belum lagi kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi negara barat karena sikap anti neokolonialisme dan neoimperialisme menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.

Baca Juga: Kisah Pilunya Lahirkan Tempat Para Jin Bersemedi kala Bulan Purnama, Inilah Putri Alun, Selir Raja Majapahit yang Dihempaskan Usai Asal-usulnya Terbongkar

Baca Juga: Enak Sih, Tapi Kalau Keterusan Makan Daging Merah Bisa Bahaya untuk Kesehatan, Ini Sebabnya

Sikap itu membuat Indonesia akhirnya kehilangan dukungan internasional baik di bidang politik maupun ekonomi.

Puncaknya adalah pada malam gerakan 30 September (G30S), tahun 1965.

Pasca peristiwa G30S 1965 yang menyeret PKI sebagai tertuduh pertama, membuat posisi Soekarno sangat dilematis.

Menjelang pergantian tahun, belum ada tindakan pemerintah yang berdampak positif.

Ketidakstabilan politik pun berdampak pada kondisi ekonomi yang membuat rakyat merasa kesulitan.

Saat itu, menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa, harga semakin membumbung tinggi hanya dalam waktu satu pekan.

Tarif angkutan umum dinaikkan antara 500 sampai 1.000 persen, begitu pun dengan tarif jasa-jasa lainnya.

Hal itu kemudian menimbulkan kepanikan hebat di tengah masyarakat.

Merespon situasi tersebut, pertemuan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 9 Januari 1966 menyepakati beberapa rumusan tuntutan yang pada kemudian hari disebut Tritura.

Baca Juga: Jangan Buru-buru Dibuang saat Tak Habis Jadi Lalapan, Ternyata Daun Ini Salah Satu Bahan Alami untuk Mengusir Nyamuk, Begini Cara Menggunakannya

Presidium KAMI Pusat yang mengadakan rapat di sekretariatnya, di Jalan Sam Ratulangi No. I, pun memutuskan untuk menyelenggarakan demonstrasi secara besar-besaran pada 10 Januari 1966.

Adapun isi Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat yang mereka bawa dalam aksi tersebut, di antaranya:

1. Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)

2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S

3. Turunkan harga

Selain para mahasiswa, dalam aksi yang menuntut pemenuhan Tritura juga turut serta Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tuntutan pembubaran PKI yang tidak segera dipenuhi lama-kelamaan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta.

Pengaruh Soekarno sebagai presiden pun semakin melemah, sebaliknya, Soeharto justru kian kuat.

Akhirnya Orde Lama benar-benar tumbang dan digantikan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Baca Juga: Awal Mula hingga Keruntuhannya, Inilah Sejarah Kerajaan Jenggala, Pecahan Kerajaan Kahuripan yang Tak Bertahan Lama

(*)

Artikel Terkait