Intisari-Online.com -Presiden pertama RI Soekarno dimakamkan di pemakaman umum di Kelurahan Bendogerit, Kota Blitar, pada 22 Juni 1970.
Soekarno tidak dimakamkan di Kebun Raya Bogor seperti wasiatnya.
Keputusan ini dibuatketikaditandatanganinya Keppres No 44 Tahun 1970 tentang pemakaman Presiden Soekarno dengan pilihan lokasi di Kota Blitar oleh Presiden Soeharto.
Keputusan itu mungkin mendapatkan pembenaran pada bahwa di Kota Blitar, Jawa Timur itu, kedua orang tua Soekarno dimakamkan.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyebut keputusan itu lebih didorong oleh naluri politik Soeharto untuk menjauhkan sosok karismatik itu dari Ibu Kota.
Muncul juga kesan bahwa ini merupakan kelanjutan dari skenario untuk membangun citra kedekatan antara Sang Proklamator Kemerdekaan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pernah menang pada Pemilu Daerah tahun 1957 di Blitar.
Di daerah terpencil ini, perlawanan PKI setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 juga pernah terjadi dengan basis di wilayah Blitar bagian selatan.
Namun, selain dari unsur politik tersebut, makam Bung Karnodekat dengan titik awal kedigdayaan nusantara yang terpaut ratusan tahun.
Sekitar 15 kilometer darimakam Bung Karno ke arah selatan, abu pendiri Kerajaan Majapahit, Dyah Wijaya atau Raden Wijaya, disemayamkan di sebuah candi yang terletak di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar.
Raden Wijaya sendiri merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit yang berkuasa antara 1293-1309 M.
Meski masa hidup keduanya terpaut ratusan tahun, Soekarno dan Dyah Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana sama-sama pendiri negara di Nusantara.
Meski batas-batas wilayah Indonesia modern lebih didasarkan pada wilayah Hindia Belanda, namun sedikit banyak wilayah nusantara sebagai sebuah bangsa sudah terajut di masa Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya.
Kebesaran nama kedua tokoh ini dipertemukan di Blitar, daerah paling selatan Jawa Timur.
Di tempat itu, sejumlah raja penguasa Jawa di masa lampau yang lain juga dicandikan.
Sekitar dua kilometer ke arah selatan dari Kali Brantas, sungai purba yang membelah wilayah Blitar hampir di garis tengahnya itu, di Dusun Krajan, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan berdirlah Candi Simping.
"Pernah saya hitung dengan hati-hati, jumlah batu-batu ini 2.415 buah, baik yang dalam keadaan utuh maupun pecahan," ujar Susilo, penjaga Candi Simping, kepada Kompas.com.
Di bagian tengah candi, di atas batur kaki candi yang tersisa, terdapat batu peripih seukuran meja kecil hampir sama sisi dengan bagian atasnya terpahat bentuk naga dan kura-kura menyangga gunung.
"Di dalam pripih itulah konon abu kremasi Raden Wijaya diletakkan," ujar Susilo.
Candi Simping yang tersisa sebenarnya lebih tepat disebut sebagai reruntuhan candi.
Ketika ditemukan kembali pada 1854 oleh Teijsmann, Direktur Kebun Raya Bogor yang aktif berkeliling daerah mencari koleksi baru spesies tumbuhan, kondisi Candi Simping sudah runtuh.
Batu-batu penyusun bangunan candi dan sejumlah arca dalam keadaan berserakan.
Kala itu, Candi Simping disebut sebagai Candi Sumberdjati sesuai nama desa tempat berdirinya.
Baru setelah ditemukannya naskah kakawin Negarakertagama oleh ilmuan Belanda J.L.A. Brandes pada 1894 di perpustakaan Raja Lombok yang hendak dihancurkan tentara KNIL.
Candi Simping menemukan konteks historisnya, termasuk nama Simping yang disebutkan dalam naskah Negara Kertagama.
Kata Simping disebutkan di beberapa bagian dari kakawin berusia 650 tahun itu.
Namun, Candi Simping sebagai makam Sang Pendiri Majapahit disebutkan pada Pupuh XLVII.
Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Nugroho Harjo Lukito, mengatakan keistimewaan arsitektural Candi Simping tidak mungkin lagi dinikmati.
Yang tertinggal, menurutnya, adalah keberadaannya sebagai perabuan atau pendarmaan pendiri Majapahit.
"Kalau saja Candi Simping itu masih berdiri mungkin lengkap istimewanya, karena ia merupakan pedharmaan Kertarajasa Jayawardhana alias Raden Wijaya," tutur Nugroho kepada Kompas.com.
Seperti halnya Makam Bung Karno, Candi Simping mulai mendapatkan kunjungan dari masyarakat setelah Reformasi 1998 meskipun jumlahnya jauh dibawa angka peziarah Makam Bung Karno.
"Sebelum tahun 2000, pengunjung datang ke sini hanya di hari-hari tertentu untuk keperluan ritual. Tapi setelah tahun 2000, paling tidak ada kunjungan rutin anak-anak sekolah untuk keperluan tugas dari gurunya," ujar Susilo.