Advertorial
Intisari-Online.com - Negara bagian Mauritania di Afrika dikelilingiSamudra Atlantik dan gurun Sahara.
Cuacanya hangat, kekeringan biasa terjadi, danjarang turun hujan.
Perawatan kesehatan medis buruk, tapi ada masalah lain.
Tradisi kuno Leblouh masih dipraktikkan untuk menggemukkan gadis-gadis agar siap menikah.
Namun cara yang digunakan sungguh tidak manusiawi dan membahayakan keselamatan nyawa mereka.
Tradisi Leblouh dan tingkat kemiskinan Mauritania yang tinggi sangat berkaitan.
Melansir History of Yesterday, dalam budaya Mauritania, hanya wanita yang gemuk yang dianggap cantik dan diinginkan oleh pria untuk dinikahi.
Wanita gemuk dianggap berasal dari keluarga kaya karena cukup makan dan tidak perlu bekerja.
Semakin gemuk sang istri maka, status sosial suami juga akan terangkat karena dianggap cukup memberi makan.
Untuk mencegah rasa malu dan stigma sosial, gadis-gadis muda dicekoki secara paksa untuk makan secara membabi buta.
Praktik penggemukan ini dilakukan selama berbulan-bulan, bahkan ada yang bertahun-tahun.
Dalam kebanyakan kasus, penggemukan ini hanya akan berakhir ketika si gadis menikah.
Menurut perkiraan UNICEF, selama proses penggemukan ini, anakperempuan berusia lima tahun dipaksa untuk mengonsumsi 9.000 kalori per hari.
Meski begitu, ada kekhawatiran bahwa jumlah aslinya jauh lebih tinggi yaknimendekati 14.000-16.000 kalori per hari.
Diet penggemukan ini menggunakan beberapa bahan makanan, termasuk susu,couscous berminyak (dan daging jika mereka mampu membelinya),amzik — susu diaduk sampai mulai berubah menjadi mentega dan kemudian dicampur dengan susu segar, bubur, biji-bijian.
Mengkonsumsi makanan dalam jumlah besar adalah siksaan tersendiri.
Baca Juga: Para Pujangga dan Karya Sastra Kerajaannya yang Berkembang Pesat di Zaman Majapahit
Tapi jika para gadis menolaknya, mereka akan dipukuli dan mendapat hukuman.
Bahkan mereka dilarang muntah.
Aminetou Mint Elhacen, salah seorang yang bertugas menggemukkan para gadis mengaku bahwa dirinya berbuat tegas.
“Saya sangat ketat. Saya memukuli gadis-gadis itu atau menyiksa mereka dengan menempelkan tongkat di antara jari-jari kaki mereka."
"Saya mengisolasi mereka dan memberi tahu mereka bahwa menjadi wanita kurus itu jelek."
“Bagaimana gadis-gadis malang ini akan menemukan seorang suami jika mereka kurus dan memberontak?”
"Orang tua akan memberi saya bonus jika anaknya punyastretch mark."
Makan paksa di kamp Elchacen berlangsung selama tiga bulan, dan dia mengenakan biaya sekitar $155 per anak atau sekitar Rp 1,6 juta.
Selama waktu itu, gadis-gadis itu diberi makan setiap hari 40 gulungan yangterbuat dari couscous, kurma, dan kacang tanah.
Mereka juga harus minum 12 liter susu kambing dan bubur sehari.
Mereka juga memakan hormon dan steroid hewani, yang dibeli di pasar gelap.
Akibat dari penggunaan obat-obatan ini seringkali berakibat fatal.
“Sebelum mereka mengonsumsi susu unta, gadis-gadis itu dicekok paksa dengan bahan kimia yang digunakan untuk menggemukkan hewan.”
Seperti yang diharapkan, pemberian makan berlebihan yang ekstrim menyebabkan masalah kesehatan.
Gadis-gadis yang melalui Leblouh sering menderita tekanan darah tinggi, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, trauma, dan depresi.
(*)