Intisari-Online.com - Setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban dan pasukan Barat ditarik dari tahun lalu, kehidupan warga Afghanistan makin sengsara.
Bagaimana tidak, ketika Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, hingga kini rezim Taliban belum menerima pengakuan internasional.
Alhasil warga Afghanistan menjadi korbannya.
Dilansir dari news.sky.com pada Kamis (27/1/2022), warga Afghanistan tengah menghadapi krisis kelaparan.
Bahkan ketika tim Sky News sampai di Herat, mereka telah bertemu seluruh keluarga yang telah menjual ginjal mereka agar mereka dapat makan.
Dalam satu kasus, tiga saudara laki-laki dan dua saudara perempuan telah menjual ginjal mereka seharga 1.150 Poundsterling (Rp22 juta) per ginjal.
Semua uangnya untuk membeli makanan bagi anggota keluarga lainnya.
Ada juga kisah seorang ibu berduka atas balita yang mati kelaparan.
Yang lebih mengerikannya lagi, ada keluarga yang terpaksa menjual anak-anak mereka.
Ya, menjualnya.
Inilah yang sebenarnya terjadi di Afghanistan pasca penarikan pasukan asing.
Padahal negara ini sudah berjuang selama 20 tahun dan menghabiskan miliaran dolar untuk "membangun kembali".
Tapi pada akhirnya, ribuan nyawa kembali dikorbankan.
Tidak heran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan Afghanistan telah menjadi pusat bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Ke luar dari Herat, hampir semua orang di sana putus asa. Mereka terpaksa keluar dari rumah dan hanya tinggal di dalam tenda.
Ada begitu banyak orang yang terkena berbagai penyakit kronis. Mereka semua memohon bantuan.
Seperti kisah seorang ibu dan ayah ini yang sama-sama telah menjual ginjal mereka.
Kini, mereka terpaksa menjual salah satu dari delapan anak mereka.
"Sekitar enam bulan yang lalu, putra saya yang berusia tiga tahun meninggal karena kelaparan," cerita sang ibu.
"Saya tidak bisa melihat mereka semua kehilangan nyawa. Setidaknya dengan cara ini, orang lain akan memberi mereka makan."
Sang suami sama putus sajanya. Bahkan mereka belum memutuskan anak mana yang akan dijual.
Yang jelas dia akan menjual anak itu dengan harga kurang dari harga ginjalnya.
"Kami tidak punya apa-apa lagi untuk dijual," katanya.
"Kami harus menjual anak-anak kami sekarang dan saya siap melakukan ini."
"Saya tidak bisa tidur setiap malam dengan mereka menangis karena lapar."
Dia bercerita, dia menjual anaknya seharga 150 Poundsterling (Rp2,9 juta).
Lalu bagaimana tanggapan Taliban?
Taliban mengatakan ini semua adalah mitos Barat, yang diimpikan oleh media Barat yang jahat dan tidak jujur untuk mendiskreditkan mereka.
Bahkan mereka dengan tegas mengatakan semua gadis di negara itu mengenyam pendidikan.
Sekolah dan universitas semua orang dan mereka tidak mengumpulkan aktivis perempuan atau melakukan balas dendam terhadap mereka yang bekerja dengan pasukan asing yang pernah ditempatkan di sini selama dua dekade.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR