Intisari-Online.com - Gempa bumi magnitudo 6,6 terjadi di Pandeglang, Banten, pada Jumat (14/1/2022).
Setelah itu, terjadi sebanyak 33 kali gempa susulan di wilayah Selat Sunda hingga Sabtu (15/1/2022).
Melansir Kompas.com, kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, gempa susulan yang mencapai 33 kali ini disebabkan adanya proses penstabilan bagi pergerakan lempeng, karena sebelumnya telah terjadi pergerakan lempeng dengan energi yang cukup besar, yakni magnitudo 6,6.
Menurut Dwikorita, butuh proses bagi lempeng tersebut untuk melepaskan sisa-sisa energi menuju equilibrium atau kestabilan.
"Setiap terjadinya pelepasan energi saat terjadi pergerakan bentukan lempeng di situ, karena energi yang terlepas ini cukup besar, kemarin adalah 6,6, masih ada proses untuk menstabilkan kembali," kata Dwikorita dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (16/1/2022).
Dwikorita memberi contoh pergerakan lempeng ini seperti manusia yang sedang berlari kencang.
Biasanya, setelah berlari kencang, energi manusia tidak akan langsung habis dan selanjutnya merasa terengah-engah.
Kondisi terengah-engah ini lah yang kemudian dimanifestasikan dalam sistem gempa ke bentuk gempa-gempa susulan.
Sementara itu, jika menilik sejarah gempa di Selat Sunda yang berpotensi tsunami, kasus pertama yang tercatat yakni tahun 416 disebabkan oleh erupsi gunung api Krakatau.
Fakta itu diungkap dalam Jurnal Geologi Indonesia 'Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap katalog Tsunami Soloviev' oleh Yudhicara dan K. Budiono.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR