Advertorial
Intisari - Online.com -Kerajaan Majapahit tidak dipungkiri adalah kerajaan terbesar Hindu-Buddha di Indonesia.
Kerajaan mencapai masa kejayaan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada.
Keduanya berhasil menyatukan Nusantara.
Namun tahukah Anda, pemikiran menyatukan Nusantara dan berpandangan politik ke luar Jawa tumbuh dari raja Singasari, Kertanegara.
Dikutip dari kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, Kertanegara ingin menundukkan Bakulapura.
Kini, wilayah ini disebut dengan Tanjungpura, dan di masa Majapahit sampai seterusnya, wilayah ini berkaitan dengan Jawa.
Selanjutnya Gajah Mada mengungkit kembali keberadaan wilayah ini, dan Tanjungpura disebut sebagai bagian dari cita-cita dalam sumpahnya, Sumpah Palapa.
"Sesudah kalah Nusantara, saya menikmati istirahat, sesudah kalah daerah Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, waktu itulah saya istirahat," serunya di hadapan para pejabat Majapahit.
Baca Juga: Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit, Ini Makna Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Lewat bukunya Masa Akhir Majapahit, Arkeolog Hasa Djafar menyebut letak Tanjungpura sebenarnya belum dapat dipastikan, walau begitu para sarjana selalu menghubungkannya dengan daerah di Kalimantan.
Kemudian banyak pihak berpendapat setelah membaca Negarakertagama jika Tanjungpura dipakai untuk menyebut seluruh Pulau Kalimantan.
Pulau itu disebut-sebut menjadi wilayah yang tunduk pada Majapahit.
Nah, hubungan Kalimantan dan Jawa sendiri tarik ulur sejak Kertananegara pertama kali mengincarnya.
Disebutkan oleh Dwi Cahyono, pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, bahwa politik Singasari dan Tanjungpura bubar setelah Singasari bubar tahun 1292.
Itulah sebabnya sebagai raja pertama Majapahit, Raden Wijaya harus mulai dari nol lagi untuk menggandeng wilayah tersebut.
Prasasti dari masa Hayam Wuruk menceritakan proses Majapahit menguasai Kalimantan, diceritakan jika Raden Wijaya atau Sri Kertarajasa Jayawarddhana Anantawikrama Uttungga memiliki empat permaisuri.
"…empat permaisurinya setara dengan dewi-dewi, yang menjadi prakreti Pulau Bali, Melayu, Madhura, dan Tanjungpura…," tulis prasasti tersebut.
Sumber tersebut menyatakan jika Raden Wijaya menggunakan politik pernikahan untuk menguasai Kalimantan.
Namun ada juga yang menyebut keunggulan Majapahit menguasai Kalimantan tidak lepas dari suku yang terasing di Pulau Jawa di masa Majapahit ini.
Suku Kalang
Wikipedia menyebutkan di era Majapahit, ada suku Kalang yang ditugaskan menjaga hutan dari serangan musuh.
Suku Kalang atau Wong Kalang sendiri sudah lama dikenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna, dan mereka bermukim di Pulau Jawa terkhusus di wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, contohnya di Kabupaten Blora dan Rembang di Jawa Tengah, serta di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur.
Wong Kalang juga dikatakan sudah mendapat pengaruh Hindu sebelum masuk ke Jawa, berdasarkan prasasti Kuburan Candi di Tegalsari, Magelang, tahun 753 Saka atau 831 Masehi.
Karena kesaktiannya, Majapahit memerintahkan mereka menjaga hutan dari serangan musuh.
Wong Kalang juga sudah biasa dipekerjakan untuk membuat candi sampai bermacam benda dari kayu.
Nah, Wong Kalang juga ternyata menjadi tentara yang membela Majapahit dalam perang melawan Suku Dayak.
Dalam perang ini tentara Kalang membawa kemenangan hebat bagi Majapahit.
Konon kesaktian Wong Suku Kalang lebih ke arah berbau mistis, contoh bisa memindahkan batu besar secara gaib dan tetap diam saat bekerja, atau tidak bersuara alias membisu.
Namun tidak semua Suku Kalang punya kemampuan lebih, hanya beberapa orang yang punya kesaktian ini dan mereka yang dipilih sebagai tentara Majapahit menyerang Kalimantan.
Saat penyerangan tersebut terjadi peperangan klenik yang dimenangkan Suku Kalang atas Suku Dayak, padahal Suku Dayak dikenal memiliki ilmu lebih dalam hal-hal gaib.
Akhirnya tentara Suku Kalang sempat diangkat menjadi perwira Majapahit, tapi mereka malah justru dicopot dari jabatan mereka.
Rupanya, perilaku mereka cenderung liar dan aneh dan tidak seperti manusia Jawa pada umumnya.
Bahkan kelas sosial mereka di bawah selayaknya kaum sudra yang mengerjakan berbagai pekerjaan kasar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini