Penulis
Intisari - Online.com -Klaim perebutan tanah adat Papua Barat oleh Orang Asli Papua dengan sejumlah perusahaan kelapa sawit telah mencapai tahap akhir.
Orang Asli Papua berhasil memenangkan klaim tersebut.
Intisari Online berhasil mendapatkan info jika pengadilan Indonesia telah memberikan kemenangan hebat untuk hak Orang Asli Papua, yang memutuskan menyetujui tuntutan bupati Sorong yang mencopot izin bagi lebih dari selusin perusahaan kelapa sawit untuk beroperasi di wilayah hutan Tanah Adat dan mengubahnya menjadi perkebunan.
Johny Kamoru, bupati Sorong, membatalkan izin setelah kelompok Adat mengatakan mereka tidak mendapatkan penjelasan mengenai pengubahan tanah adat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan sebuah ulasan oleh pemerintah provinsi menyebutkan hal ini sudah sejak Februari 2021.
Tiga perusahaan yang terdampak tuntutan melawan Kamaru antara lain PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawitindo, yang pengajuannya agar izin mereka dikabulkan ditolak oleh pengadilan.
Orang Asli Papua yang memenangkan tanah adat ini salah satunya adalah Suku Moi.
Siapakah Suku Moi itu?
Melansir artikel berjudul 'Local Social and Civil Social Community Moi in West Papua Sorong' tulisan Dr. Hermanto Suaib, M. M. dari Universitas Muhamadiyah Sorong, Indonesia, yang terbit di International Journal of Development Research, didapatkan sedikit seluk beluk mengenai Suku Moi.
Suku Moi adalah sedikit suku di Papua tepatnya di kota Sorong yang terdampak dengan dibukanya kota Sorong dan pembangunan yang dilakukan pemerintah di Papua Barat.
Hal ini karena Suku Moi masih termasuk masyarakat marjinal.
Sebagai Suku Asli Papua, Suku Moi adalah komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik unik dari sistem sosial, perilaku dan tingkah laku yang menunjukkan keramahan asli orang Papua.
Suku Moi di awal-awalnya hidup berkelompok dengan pakaian yang berbeda dengan suku-suku lain di Papua; mereka juga sosial, ramah dan damai, sabar atau tidak temperamental dan memiliki konsepsi dan tradisi mereka sendiri.
Salah satunya adalah mengenai konsep lahan atau tanah bagi mereka.
Didapatkan dari penelitian tersebut jika ternyata kehidupan suku Moi sangatlah bergantung dengan kondisi alam di mana mereka hidup, beberapa hidup di tepi pantai dan beberapa tinggal di pegunungan.
Suku Moi telah mendaratkan dan menguasai apa yang kini dikenal sebagai hak Dasar: pertama, pebemam; kedua, Sukaban; ketiga, Sumala; kelima, Wati.
Pandangan hak ini masih dipegang teguh oleh semua komunitas Moi.
Keyakinan jika tanah adalah wanita (mama/ibu)
Hal menarik mengenai Suku Moi adalah berbicara soal tanah berarti berbicara soal wanita.
Bagi mereka, tanah adalah ibu sehingga menjualnya seperti halnya menjual ibu atau ama.
Pemahaman ini didapat dari pandangan mereka jika tanah adalah sumber kehidupan, seperti ibu yang menyusui anak-anaknya.
Ada juga tanah ulayat atau milik bersama yang seharusnya tidak bisa dijual dengan mudah.
Pemahaman ini mungkin yang mendasari mengapa Suku Moi menentang penggunaan Tanah Adat sebagai perkebunan.
Sementara itu nyatanya ada perubahan dalam kebiasaan budaya Suku Moi.
Hak untuk berada di suatu tanah adalah hak untuk hidup yang juga mempertahankan hak ekonomi dan juga memutuskan suatu tanah menjadi ulayat atau milik bersama.
Hal ini menyebabkan tidak ada siapapun yang bisa dengan bebas menjual tanah.
Cara menjual tanah bagi anggota pria Suku Moi ternyata mereka seharusnya memanggil Muwe (Kakak perempuan) jika mereka tidak ingin dikutuk.
Sementara jika yang ingin menjual adalah anggota perempuan maka ia harus memanggil kakak laki-laki agar tidak kerasukan.
Pemahaman lebih luasnya adalah setiap keputusan yang dibuat semua orang terikat dengan kekeluargaan Suku Moi yang tidak bisa diputus dengan mudah.
Pembagian tanah biasanya dilakukan antar klan Suku Moi, yang ada 7 klan yaitu:
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini