Intisari - Online.com -Dana bantuan Covid-19 tidak mengejutkan menjadi sumber dana yang dikorupsi para pejabat yang tidak jujur.
Kondisi ini terjadi di negara tetangga Indonesia, Papua Nugini.
Melansir lowyinstitute.org, tahun 2020, Perdana Menteri (PM) Papua Nugini James Marape mengarahkan 20% dari dana Program Pembangunan Jasa Distrik (DSIP) yang dibayarkan kepada 89 perwakilan PM terbuka di distrik yang terpilih.
Dana itu ditujukan untuk mengembangkan kesehatan di Papua Nugini.
Pemerintah Papua Nugini kemudian mengalokasikan tambahan 2 juta kina (K2 juta) tahun 2020 kepada anggota parlemen untuk dihabiskan guna menangani Covid-19.
Bantuan itu sebesar Rp 8 miliar.
Namun, keterlibatan anggota parlemen dalam pendanaan yang ditujukan untuk kesehatan selama krisis Covid-19 menimbulkan dua kekhawatiran: pertama, pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan dana yang ditinggalkan di tangan anggota parlemen sering dipolitisasi; dan kedua, dana DSIP memiliki catatan penyerapan yang sangat buruk.
Tambahan lagi, tidak adanya transparansi dan penanganan akuntabilitas atas nama ekspedisi respon pandemi memberi ruang eksploitasi.
Catatan keuangan Papua Nugini juga memberi kekhawatiran lebih.
Tahun 2015, selama puncak dari kekeringan akibat El Nino, Papua Nugini menginstruksikan Otoritas Pengembangan Distrik (DDA) untuk menggunakan sebanyak K2 juta dari alokasi yang sudah ada untuk DSIP untuk menyediakan bantuan.
DSIP adalah Dana Pengembangan Konstituen yang diatur oleh DDA, yang dikepalai olrah anggota parlemen elektorat terbuka dan Dewan mereka sering bersekutu dengan anggota parlemen.
Administrasi distrik tersebut, yang bertanggung jawab melaksanakan keputusan DDA, juga semakin banyak yang diangkat jadi pejabat politik.
Hasilnya, keputusan pendanaan di DDA sering kali diatur untuk memaksimalkan terpilihnya ulang anggota parlemen daripada untuk tujuan sebenarnya.
Penelitian oleh Colin Wiltshire dan Thiago Oppermann tahun 2015 terkait pasokan bantuan selama krisis El Nino di bagian wilayah Dataran Tinggi menunjukkan suplai yang diberikan kepada pendukung anggota parlemen saja.
Rakyat yang tidak mendukung anggota parlemen tertentu tidak menerima bantuan apapun, yang menunjukkan perlakuan khusus oleh anggota-anggota parlemen ternyata lebih luas.
Kepala Komite Nasional Kekeringan dan Pencairan Dana Papua Nugini saat itu memperingatkan jika politisasi bantuan kekeringan lebih sering terjadi di distrik dan tingkat lokal daripada tingkat nasional dan provinsi.
Distrik lebih dekat kepada warga daripada birokrasi nasional, tapi juga paling sering terpolitisasi.
Ada risiko juga bahwa tidak ada dari 20% dari DSIP untuk kesehatan itu atau bantuan tambahan K2 juta untuk Covid-19 dihabiskan untuk kesehatan atau biaya terkait Covid-19 tahun lalu.
Hal ini karena uang-uang itu selalu digunakan oleh para anggota parlemen untuk proyek mereka sendiri.
Panduan administratif untuk DSIP yang diniatkan memandu penggunaan DSIP, dilonggarkan tahun 2016, dan DSIP dibuat lebih bebas.
Hal ini telah membuat para anggota parlemen menghabiskan dana pada proyek yang meningkatkan visibilitas politik mereka, dan kesempatan agar terpilih lagi.
Dengan meningkatnya penolakan terhadap vaksinasi, menghabiskan uang untuk inisiatif terkait Covid-19 tidak akan membuat para anggota parlemen populer.
Isu selanjutnya adalah pertanyaan lebih penting: apakah 20% dari DSIP benar-benar dihabiskan untuk kesehatan? Apakah dana tambahan K2 juta untuk Covid-19 dihabiskan sesuai yang ditujukan?
Laporan Auditor Umum tahun 2019 (untuk tahun 2013-16) menunjukkan hanya 11 dari 111 anggota parlemen (89 anggota parlemen terbuka dan juga anggota parlemen provinsi yang menerima dana pengembangan jasa provinsi / PSIP) membebaskan dana mereka tahun 2016.
Angka ini turun dari tahun 2013 ketika 95 anggota parlemen membebaskan penggunaan dana ini.
Dengan ketiadaan kebebasan, bagaimana dana Covid-19 dipercayakan untuk dipakai anggota parlemen, sebagaimana komponen alokasi DSIP untuk menangani Covid-19, tidak akan pernah diketahui.
Ketiga, salah penanganan dana selama krisis di Papua Nugini malah sudah menjadi norma, atau sudah sangat sering terjadi.
Contohnya mengikuti gempa bumi tahun 2018 di wilayah dataran tinggi, pemerintah Papua Nugini menggunakan dana K450 juta (Rp 1,8 T) untuk operasi bantuan.
Badan pendonor dan negara-negara juga mendonasikan K106 juta untuk bantuan menangani bencana itu.
Ada klaim jika dana-dana ini tidak mencapai warga, dan juga tidak ada laporan bagaimana dana-dana ini dipakai.
Pada awal 2020, Menteri Keuangan PNG Ian Ling Stuckey mengakui sebagian dari K23 juta yang dikeluarkan di bawah Keadaan Darurat Covid-19 dihabiskan untuk mobil sewaan dan konsultan media.
Kemarahan publik menyebabkan janji untuk menyelidiki penggunaan dana ini, tetapi sampai saat ini, tidak ada laporan yang tersedia.
Tidak ada laporan tentang bagaimana dana untuk Covid-19 dibelanjakan selama dua tahun terakhir.
Jika tidak ada upaya untuk mendepolitisasi pendanaan Covid-19, dan meningkatkan transparansi, jutaan kina yang dialokasikan untuk Covid-19 tidak akan membantu rakyat melawan virus.
Hal ini menjadi perhatian serius, karena tidak seperti bencana alam yang seringkali merupakan tragedi sekali saja, Covid-19 akan bertahan untuk beberapa waktu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini