Intisari - Online.com -Ketika perusahaan Inggris Premier Oil masuk dalam usaha gabungan dengan raksasa migas Rusia Zarubezhneft setahun lalu untuk mengeksploitasi blok gas alam Tuna di Laut Natuna Utara, SKK Migas mengatakan kesepakatan ini bagus karena menguatkan kedaulatan Indonesia di Natuna.
Namun kini banyak yang meragukan niat Indonesia mempertahankan kedaulatannya.
Kritik berdatangan dari berbagai media asing mengenai pertahanan Indonesia yang kuat tapi tidak digerakkan.
Salah satunya dari artikel di Asia Times.
Setahun setelah kesepakatan migas antara Premier Oil dan Zarubezhneft, Indonesia tidak berbuat banyak dengan pelanggaran kedaulatannya.
Kritik bergulir ketika pejabat kesulitan menjelaskan mengapa sebuah kapal survei China diperbolehkan menghabiskan 7 minggu melakukan pemetaan dasar laut intensif di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sebelah selatan konkesi Harbour Energy.
Kapal Haiyang Dizhi 10 berukuran 6900 ton dan dilindungi Coast Guard China (CCG) masuk ZEE Indonesia pada 22 Oktober lalu, 4 hari sebelum pertemuan ASEAN.
Hal ini pernah terjadi sebelumnya, oleh kapal yang sama yang berlayar ke Fiery Cross Reef di Kepulauan Spratly untuk mengisi ulang tenaga akhir September lalu sebelum kembali 4 Oktober.
Kapal ini kemudian melanjutkan penelitian tanpa dasar hukumnya.
Kali ini, data pelacakan kapalmarinetraffic.commenunjukkan mereka kembali ke pelabuhan Guangzhou.
Namun kapal pemotong 6305 milik Coast Guard China tetap berada di sekitar rig pengeboran di mana operasi penilaian akan berlanjut setidaknya satu bulan lagi.
Pakar mengatakan izin tinggal yang diperpanjang milik kapal survei tersebut telah menjadi senjata pengakuan dari sembilan garis putus-putus China, yang menyerempet ZEE Indonesia dekat dengan batas maritim Vietnam.
Pemerintah Indonesia belum memprotes masuknya kapal ini, walaupun kapal-kapal China diperhatikan setiap waktu oleh 9 kapal patroli Angkatan Laut TNI dan BAKAMLA dengan perintah jelas untuk tidak melakukan intervensi.
"Saya rasa Indonesia menggantungkan taruhan mereka dan tidak melakukan apapun yang akan menyebabkan ketegangan meningkat," ujar pakar dari Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) Malcolm Davis.
"Jika pemikirannya adalah agar China puas, Indonesia akan terkejut. Beri China satu inchi dan mereka akan ambil satu mil."
Bill Hayton, peneliti untuk Chatham House London dan penulis buku mengenai ketegangan meningkat di Laut China Selatan, sepakat dengan Davis.
"Jika pemerintah Indonesia tidak siap untuk protes, maka mereka perlu segera melakukannya atau akan berisiko menciptakan preseden serta kehilangan haknya," ujarnya.
Para diplomat tidak paham mengapa Indonesia tetap diam.
Salah seorang diplomat menyebut: "Kami berbagi kekhawatiran dan pandangan Anda, tapi beberapa berpikir ini bukan saat yang tepat untuk membuat marah 'teman di utara' mengingat pergerakan terbaru di Laut China Selatan."
TNI memiliki hubungan lebih erat dengan militer Amerika Serikat (AS), tapi China juga membantu dalam upaya penyelamatan KRI Nanggala-402, tragedi mengerikan yang menenggelamkan 53 kru Angkatan Laut Indonesia di utara Bali April lalu.
Lebih penting lagi, perusahaan China memainkan peran penting menempatkan Indonesia dalam rantai suplai global, dengan China baru saja memakmurkan industri nikel, bertindak sebagai pendiri investor industri baterai lithium dan industri mobil listrik yang menjanjikan.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang kini bisa disebut sebagai juru bicara Indonesia untuk China, mencari cara menepis gangguan tersebut dalam pidato minggu lalu di Washington.
Di sana ia bertemu dengan Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia menghargai kebebasan navigasi di Laut Natuna Utara, menambahkan: "Kami telah berdiskusi dengan mitra kontak kami di China, kami sepakat untuk berbeda pendapat di beberapa hal, tapi saya yakin kami berhasil mengaturnya sejauh ini.
"Kami tidak merasa kami punya masalah dengan China," ujar Luhut merespon suatu pertanyaan.
"Ini seperti masalah antar saudara. Terkadang Anda punya masalah-masalah, tapi jangan sampai membuatnya sebagai masalah besar. Saya tidak melihatnya sebagai masalah besar selama mereka tidak mengklaim secara resmi jika Natuna milik mereka. Itu berbeda."
Davis dan pakar maritim lainnya menekankan jika kebebasan berlayar bukanlah masalah dan mencatat bahwa terpisah dari insiden tahun 2016, yang mana kapal Coast Guard China merebut kembali sebuah kapal pukat yang ditangkap di perairan Indonesia.
Kali ini Indonesia tampaknya mundur ketika dihadang dengan tekanan yang lebih kuat.
“Ini cukup serius,” kata Davis, mantan ahli strategi Departemen Pertahanan.
“Orang Indonesia mungkin tidak ingin mengguncang perahu, tetapi pada titik tertentu, Jakarta harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan China. Orang China menggunakan diplomasi dengan sangat sukses.”
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini